Isti’anah, seorang Pejabat Fungsional dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta VI, menyampaikan bahwa lembaga dengan jumlah pegawai yang mencapai lebih dari 34.000 orang ini menghadapi tantangan yang cukup besar.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah terkait data pegawai atau pejabat negara, yang dalam mekanisme pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disebut sebagai supplier.
Sebagai end user (penerima akhir) dalam sistem digitalisasi keuangan negara, supplier memegang peranan penting dalam kelancaran penyaluran pembayaran dalam pelaksanaan program-program pemerintah.
“Oleh karena itu, pemerintah telah menyiapkan berbagai mekanisme, regulasi, dan proses verifikasi yang ketat terhadap supplier, yang wajib dipatuhi oleh semua pihak terkait,” jelas Isti’anah dalam siaran pers yang dirilis pada hari Selasa, 27 Mei 2025.
Dengan demikian, KPPN Jakarta VI, sebagai mitra strategis MA, memegang peranan penting sebagai lembaga yang menyalurkan dana APBN dan memastikan pencairan dana dilakukan secara tepat waktu serta akurat.
Isti’anah menekankan betapa krusialnya sinergi antara MA dan KPPN dalam mendukung reformasi birokrasi, terutama dalam aspek pengelolaan belanja pegawai yang berbasis digital.
Digitalisasi Sistem Pembayaran
Isti’anah menjelaskan bahwa meskipun MA memiliki jumlah pegawai yang sangat besar dan tersebar luas di seluruh kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia, lembaga ini telah berhasil menerapkan digitalisasi pembayaran tukin.
Implementasi pembayaran digital ini dimulai pada pertengahan tahun 2023, hanya beberapa bulan setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.05/2023.
PMK tersebut mengamanatkan pembayaran tukin dengan penekanan pada aspek efisiensi dan transparansi dalam proses pembayarannya.
“Ini adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi, dan tentunya bisa menjadi contoh bagi kementerian atau lembaga lainnya, terutama di tengah tuntutan masyarakat akan transparansi keuangan publik,” ujar Isti’anah.
Selain itu, pembayaran langsung ke rekening penerima juga merupakan amanah dari PMK Nomor 62 Tahun 2023.
Dengan adanya sistem pembayaran langsung ini, MA, sebagai satuan kerja (satker), dapat menghemat biaya administrasi, seperti biaya transfer dari rekening bendahara ke rekening pegawai. Hal ini menjadikan pengelolaan keuangan lebih efisien karena tidak ada potongan biaya transfer.
Isti’anah menambahkan bahwa sistem ini juga lebih transparan dan mudah untuk dipertanggungjawabkan.
“Pegawai yang berhak menerima tunjangan kinerja dapat mengakses informasi mengenai tunjangan tersebut kapan saja dan di mana saja,” tuturnya.
PMK Nomor 62 Tahun 2023 bertujuan agar penerima dapat segera menerima haknya, karena dana disalurkan langsung dari rekening kas negara ke rekening penerima tanpa melalui rekening bendahara.
Tantangan yang Masih Ada
Seperti yang kita ketahui, setiap ASN memiliki hak untuk menerima gaji dan tukin. Namun, hingga saat ini, pembayaran keduanya masih dilakukan oleh satker yang terpisah.
Skema pembayaran gaji diserahkan kepada masing-masing satker di seluruh Indonesia, sedangkan pengelolaan tukin telah dilakukan secara terpusat oleh satker Badan Urusan Administrasi (BUA).
Isti’anah menyatakan bahwa pengelolaan gaji secara terpusat memberikan sejumlah keuntungan, seperti efisiensi administrasi, pengurangan biaya dan waktu, pengendalian pagu minus, serta penyusunan laporan keuangan yang lebih baik.
Menurutnya, sistem ini mempermudah proses penggajian, mengurangi potensi kesalahan, dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas.
Keuntungan lainnya adalah pekerjaan administratif (back office) yang saat ini dilakukan di seluruh kantor, nantinya cukup dikerjakan oleh kantor pusat saja, sehingga lebih efisien.
Isti’anah menegaskan bahwa sistem ini akan menghilangkan proses distribusi gaji, sehingga surat keterangan penghentian pembayaran (SKPP) tidak lagi diperlukan saat terjadi mutasi pegawai.
“Penghematan biaya administrasi, sumber daya, dan waktu belum optimal karena saat ini proses gaji masih dilakukan oleh 935 satker. Setelah pengelolaannya dipusatkan di satu satker, maka biaya akan lebih efisien,” jelasnya.
Isti’anah mengatakan bahwa dengan pengelolaan terpusat dalam satu satker, akurasi perhitungan gaji, tunjangan kinerja (tukin), dan pajak dapat lebih terjamin. Hal ini juga akan mempermudah proses pelaporan dan monitoring keuangan.
Ia menambahkan bahwa penghapusan distribusi gaji juga akan menghilangkan risiko pagu minus.
Sebab, gaji cukup dibayarkan oleh kantor pusat tanpa perlu adanya pergeseran pagu saat terjadi mutasi antarunit. Dengan demikian, pagu akan tetap stabil dan kualitas laporan keuangan akan lebih terjamin.
“Kehebatan institusi sebesar MA dalam menegakkan hukum di Indonesia harus terus dijaga, salah satunya dengan memastikan hak-hak pegawai terpenuhi tepat waktu,” kata Isti’anah.
Ia memaparkan bahwa terdapat beberapa tantangan yang berpotensi menghambat keberhasilan sistem pengelolaan gaji terpusat.
Tantangan tersebut meliputi perbedaan format data supplier antar satker, keterbatasan kompetensi ASN dalam menggunakan sistem digital, serta kurangnya koordinasi antar satker.
Oleh karena itu, menurut Isti’anah, diperlukan strategi yang efektif untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, agar proses pengelolaan data kepegawaian dan pembayaran gaji dapat berjalan dengan baik.
Ia menegaskan bahwa upaya ini bukan hanya untuk memastikan pembayaran gaji dan tunjangan kinerja (tukin) tepat waktu dan sesuai data, tetapi juga untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan belanja pegawai.
Dengan demikian, kualitas laporan keuangan pun akan semakin baik.
Sistem Pembayaran ASN di Era Digital
Secara umum, pada era digitalisasi saat ini, proses pembayaran APBN membutuhkan dua sistem utama, yaitu Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) dan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).
Isti’anah menjelaskan bahwa SAKTI adalah aplikasi yang mengintegrasikan berbagai proses keuangan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban anggaran di sisi satker.
Sementara itu, SPAN merupakan sistem yang dirancang untuk mengintegrasikan proses penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan keuangan negara.
Dengan adanya sistem ini, laporan keuangan yang dihasilkan akan lebih akurat, akuntabel, dan transparan dalam pengelolaan anggaran.
Adapun perhitungan dan langkah awal pembuatan komponen keuangan pegawai, seperti gaji, tukin, uang makan, hingga kekurangan gaji, menggunakan Aplikasi Gaji Pegawai PNS Pusat (GPP).
“Khusus untuk MA, untuk mempermudah pengelolaan dan pelaporan data terkait aset, keuangan, dan remunerasi secara nasional, dikembangkanlah aplikasi web Komunikasi Data Nasional (Komdanas),” jelas Isti’anah.
Aplikasi ini memudahkan MA dalam menghadapi kemungkinan perubahan aturan dan kebijakan yang fleksibel.
Isti’anah menambahkan, proses pembayaran tukin dilakukan oleh satker BUA, dimulai dari penghitungan besaran tukin per pegawai di Komdanas.
Setelah besaran tukin per pegawai ditentukan, proses dilanjutkan dengan rekonsiliasi melalui aplikasi GPP.
Selanjutnya, data diproses di aplikasi SAKTI hingga menjadi Surat Perintah Membayar (SPM) yang dikirim secara digital ke KPPN.
Kemudian, KPPN mengunduh data dari SAKTI dan memproses SPM menjadi Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Isti’anah menjelaskan bahwa perbedaan data supplier menjadi penyebab utama penolakan SPM tukin dan keterlambatan penerimaan hak pegawai.
“Perbedaan ini terjadi karena data dikelola oleh dua satker, yaitu BUA sebagai penanggung jawab tukin terpusat, dan satker lainnya sebagai pemilik supplier terkait gaji induk,” ujarnya.
Isti’anah menambahkan bahwa sistem pembayaran digital hanya dapat memproses pembayaran untuk supplier yang sudah terdaftar.
Saat BUA memproses SPM tukin, data supplier tidak boleh diubah. Namun, karena keterbatasan kompetensi ASN, satker pembayar gaji sering melakukan perubahan supplier, sehingga data yang digunakan BUA menjadi tidak konsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, Isti’anah mengimbau agar seluruh ASN di lingkungan MA dari seluruh wilayah di Indonesia diberi pemahaman bahwa perubahan data supplier dapat berdampak pada keterlambatan pembayaran tukin.
“Bagi ASN yang bertugas sebagai Pejabat Pengelola Data Kepegawaian (PBDK) harus benar-benar berhati-hati dan senantiasa berkoordinasi dengan BUA,” pesannya.
Isti’anah menegaskan bahwa kesalahan kecil dalam perubahan satu supplier saja akan berdampak pada keterlambatan pembayaran hak seluruh pegawai.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan pembayaran tepat waktu sangat bergantung pada kerja sama antar satker di lingkungan MA, baik di daerah yang sama maupun antar provinsi.
“Membangun tim khusus yang mampu bersinergi dan bertanggung jawab atas kebenaran data akan memastikan hak-hak pegawai dapat tersampaikan tepat waktu,” pungkas Isti’anah.