Djojohadikusumonomics: Ekonomi Indonesia Era Prabowo?

Admin

18/06/2025

3
Min Read

On This Post

Gabungan Pemikiran Soemitro dan Kepemimpinan Prabowo Dinilai Bisa Jadi Pendekatan Ekonomi Indonesia ke Depan

MasterV, Jakarta – Dunia saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketidakpastian geopolitik dan potensi terjadinya krisis ekonomi berskala global. Dalam situasi yang penuh dengan tantangan seperti ini, Indonesia dipandang perlu untuk merumuskan sebuah pendekatan ekonomi yang kokoh, yang berlandaskan pada kekuatan internal bangsa.

Nazar El Mahfudzi, selaku Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID), berpendapat bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki potensi besar untuk mengembangkan sebuah arah kebijakan politik-ekonomi nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat bertumpu pada warisan pemikiran dari Soemitro Djojohadikusumo.

Lebih jauh lagi, kehadiran Hasyim Djojohadikusumo sebagai utusan presiden semakin memperkuat keyakinan akan potensi tersebut.

Ia mengusulkan pendekatan ini dengan sebutan Djojohadikusumonomics—sebuah konsep yang berupaya menggabungkan pemikiran-pemikiran brilian dari Soemitro dengan praktik ekonomi-politik yang dijalankan oleh Prabowo dan Hasyim.

Menurut Nazar, konsep Djojohadikusumonomics memiliki potensi untuk sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, yang tentu saja sangat relevan bagi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

"Apabila kita memahami Djojohadikusumonomics bukan hanya sebagai sebuah strategi teknokratis semata, melainkan sebagai sebuah visi yang bertujuan untuk membangun kedaulatan ekonomi nasional yang kuat, yang berbasis pada sumber daya yang kita miliki dan peran aktif negara, maka secara prinsip, hal ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam," ungkap Nazar dalam keterangannya pada hari Sabtu (7/6/2025).

Menurutnya, pendekatan ekonomi ini dapat diselaraskan dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam, yang menekankan pentingnya distribusi kekayaan yang merata dan perlindungan yang adil terhadap kelompok-kelompok yang rentan.

“Islam tidak menampik kepemilikan pribadi (sebagaimana yang terdapat dalam borjuisme nasionalis), namun secara tegas menolak akumulasi modal tanpa adanya distribusi yang adil. Dalam konteks ini, ajaran Islam memiliki kedekatan dengan kerakyatan revolusioner dalam hal keberpihakan yang jelas kepada mustadh’afin (kaum yang dilemahkan),” jelasnya lebih lanjut.

Nazar juga berpendapat bahwa krisis global yang sedang terjadi saat ini justru menjadi sebuah momentum yang tepat bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memperkuat peran negara dalam menjamin akses rakyat terhadap sumber daya vital, seperti air bersih, pangan yang cukup, dan energi yang terjangkau, yang kini semakin rentan dikuasai oleh oligarki global.

“Islam menerima peran negara sebagai aktor ekonomi selama negara tidak membiarkan pasar bebas menjadi alat penindasan, menjamin akses rakyat terhadap sumber daya pokok yang esensial, dan senantiasa mendorong keadilan sosial sebagai prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa Djojohadikusumonomics harus memiliki dimensi etis yang kuat agar tidak hanya menjadi proyek yang menguntungkan elit tertentu saja, melainkan harus mampu menjawab kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

“Islam secara tegas menolak kapitalisme predator yang merusak, serta sosialisme totalitarian yang menindas. Islam menawarkan etika distribusi yang adil dan partisipasi yang inklusif, di mana kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan harus dikelola dengan baik dalam bingkai kebajikan kolektif (maslahah ‘ammah),” tutur Nazar.

“Jika Djojohadikusumonomics mampu menjembatani kepentingan kaum nasionalis borjuis dan kerakyatan revolusioner dalam kerangka keadilan sosial yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, maka ia akan memiliki ruang legitimasi yang kuat dalam perspektif Islam — bukan sebagai sebuah ideologi yang sempurna, tetapi sebagai sebuah ikhtiar politik kebangsaan yang beretika,” pungkasnya dengan penuh harap.