Sopir Truk Indonesia: Terancam Jadi Tersangka?

Admin

16/06/2025

3
Min Read

Profesi sebagai sopir truk di Indonesia kini semakin jarang diminati. Bahkan, ada indikasi bahwa jumlah sopir truk di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.

Menurut data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), jumlah pengemudi bus dan truk di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Perbandingan antara jumlah pengemudi dan jumlah kendaraan yang beroperasi telah memasuki zona berbahaya (danger), mengindikasikan potensi risiko yang meningkat.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) berpendapat bahwa di balik kemudi, sopir truk seringkali menjadi tulang punggung sekaligus korban dari sistem yang mengeksploitasi mereka secara tidak adil.

"Di jalan Tol Cipali, di bawah sengatan matahari, mereka terpaksa memaksakan diri untuk terus mengemudi meski kelelahan, karena minimnya tempat istirahat yang memadai. Ironisnya, jika terjadi kecelakaan, mereka adalah pihak pertama yang dicurigai, disalahkan, bahkan seringkali diproses hukum sebagai tersangka. Sementara itu, pemilik barang cenderung tidak tersentuh hukum dan bebas dari tanggung jawab," demikian pernyataan tertulis dari MTI yang diterima Liputanku pada hari Kamis, 5 Juni 2025.

Lebih lanjut, MTI mengutip pernyataan seorang sopir truk yang secaraGamblang mengungkapkan, "Mengemudikan kendaraan di Indonesia sama saja dengan bersiap menjadi tersangka."

Di Indonesia, tidak ada standar yang jelas mengenai jam kerja bagi sopir truk. Perlindungan hukum juga masih minim. Selain itu, belum ada sistem pengupahan yang dapat menjamin kehidupan yang layak bagi mereka.

"Praktik pungutan liar (pungli) di berbagai titik dapat mengurangi hingga 35 persen dari total biaya angkut, seperti yang dicatat oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tidak mengherankan jika profesi sopir truk kini ditinggalkan oleh banyak orang. Krisis pengemudi di tengah meningkatnya kebutuhan akan distribusi barang menjadi ironi yang belum pernah dibahas secara serius dalam pertemuan para pejabat yang berwenang," ujar MTI.

Permasalahan truk yang melebihi dimensi dan muatan bukan sekadar pelanggaran teknis atau upaya untuk mencari keuntungan semata. Lebih dari itu, masalah ini mencerminkan ketidakberesan dalam tata kelola logistik nasional. Perusahaan karoseri masih bebas memproduksi truk dengan dimensi yang tidak sesuai standar. Pemilik barang dengan mudahnya memaksa sopir untuk mengangkut muatan berlebih demi menekan biaya tanpa mempedulikan peraturan hukum. Pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, belum juga menetapkan regulasi yang mewajibkan produsen dan pemilik barang untuk bertanggung jawab atas hal ini.

"Pasal 184 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 memberikan fleksibilitas dalam penetapan tarif angkutan barang melalui kesepakatan antara pengguna dan operator. Namun, dalam praktiknya, liberalisasi tarif ini justru memicu eksploitasi. Regulasi keselamatan dan batasan teknis kendaraan tidak ditegakkan. Akibatnya, truk dengan dimensi dan muatan berlebih semakin menjamur, merusak infrastruktur jalan dan pelabuhan, serta merugikan negara."

Video: Marak Truk Kecelakaan, MTI Sebut Faktor Tarif Angkut Murah dan Upah Minim

Video: Marak Truk Kecelakaan, MTI Sebut Faktor Tarif Angkut Murah dan Upah Minim