Dirut Sritex, Iwan Kurniawan, Diperiksa Kejagung!

Admin

22/06/2025

3
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), memenuhi panggilan dari tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) guna menjalani pemeriksaan terkait dugaan korupsi dalam pemberian kredit dari sejumlah bank kepada Sritex.

MasterV, Jakarta – Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), terlihat memenuhi panggilan penyidik dari Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk dimintai keterangan perihal kasus korupsi terkait penyaluran kredit dari beberapa lembaga perbankan ke Sritex.

Iwan tiba di Kejagung sekitar pukul 09.28 WIB dengan didampingi oleh beberapa anggota tim kuasa hukumnya. Ia tampak membawa sebuah tas jinjing berwarna hijau army.

"Saya hanya memenuhi panggilan," ujar Iwan di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta Selatan, pada hari Selasa (10/6/2025).

Selain itu, tim kuasa hukum Iwan Kurniawan Lukminto juga terlihat membawa sebuah koper berwarna silver. Mereka tidak memberikan banyak komentar kepada awak media yang hadir.

"Dokumen yang diminta masih berhubungan dengan perkara ini," imbuh Iwan.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengeluarkan larangan bepergian ke luar negeri terhadap petinggi PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto. Langkah ini diambil sehubungan dengan investigasi kasus korupsi terkait penerimaan kredit dari bank PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat (BJB) dan Banten, serta PT DKI Jakarta kepada PT Sritex Tbk.

Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar.

"Ya, benar bahwa IKL (Iwan Kurniawan Lukminto) telah dikenakan pencegahan ke luar negeri sejak tanggal 19 Mei 2025 dan akan berlaku selama 6 bulan ke depan,” jelas Harli saat dikonfirmasi pada hari Sabtu (7/6/2025).

“Menurut informasi dari penyidik, yang bersangkutan akan menjalani pemeriksaan lanjutan pada pekan depan,” lanjutnya.

Perlu diketahui, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit kepada PT Sritex. Mereka adalah Dicky Syahbandinata, yang menjabat sebagai Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) Tahun 2020. Kemudian, Zainuddin Mappa, Direktur Utama PT Bank DKI Tahun 2020, dan Iwan Setiawan Lukminto, Direktur Utama PT Sritex Tahun 2005–2022.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penyidik saat ini sedang mendalami ke mana aliran dana pembayaran kredit oleh petinggi PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto (ISL), apakah untuk kepentingan perusahaan atau pribadi.

“Nah, inilah yang sedang terus kami dalami, ke mana aliran penggunaan uang sebesar Rp692 miliar tersebut. Sehingga hal ini dianggap sebagai kerugian negara. Karena jika kita perhatikan penjelasannya, pemberian kredit ini seharusnya digunakan untuk modal kerja,” ungkap Harli kepada wartawan, seperti dikutip pada hari Sabtu (24/5/2025).

Fakta yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa tersangka Iwan Setiawan Lukminto menggunakan kredit tersebut untuk keperluan lain, termasuk pembayaran utang.

“Nah, ini yang sekarang sedang diinvestigasi oleh penyidik, apakah pembayaran utang tersebut untuk perusahaan atau kepentingan pribadi. Namun, seandainya pun digunakan untuk membayar utang perusahaan, hal ini juga tidak dibenarkan. Mengapa? Karena tidak sesuai dengan peruntukan yang telah disepakati dalam akad atau kontrak pemberian kredit, yaitu untuk modal kerja,” paparnya.

Bahkan, terdapat indikasi bahwa dana tersebut juga digunakan untuk pembelian aset-aset yang tidak produktif bagi kelangsungan kinerja perusahaan.

“Sehingga, seperti yang kita saksikan sekarang, perusahaan mengalami pailit. Artinya, jika manajemen dikelola dengan baik dengan pemberian kredit yang signifikan, mungkin saja PT Sritex akan tetap menjadi perusahaan yang sehat,” kata Harli.

Ia menjelaskan bahwa pada tahun 2020, PT Sritex berhasil mencatatkan keuntungan hingga Rp1,8 triliun. Namun, pada tahun 2021, justru mengalami kerugian sebesar Rp15 triliun lebih, sehingga terjadi deviasi yang cukup signifikan dan menjadi anomali serta pintu masuk bagi penyidik untuk melakukan analisis.

“Tentu saja, kami juga berharap dapat menemukan apakah ada kaitan antara penggunaan dana yang tidak semestinya, termasuk dari pemberian kredit oleh berbagai bank. Karena tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, akhirnya mengakibatkan perusahaan tidak sehat dan melakukan PHK,” tegas Harli.