Stairlift Borobudur Permanen? Respons Pro dan Kontra Mengemuka

Admin

08/06/2025

8
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Rencana pemasangan *stairlift* secara permanen di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, diungkapkan oleh Menteri Kebudayaan, Bapak Fadli Zon.

Sebagaimana diketahui, *stairlift* tersebut awalnya dipasang sementara sebagai persiapan kunjungan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, ke Candi Borobudur pada Kamis, 29 Mei 2025.

"Kita berharap ini menjadi permanen, namun sebelumnya akan dilakukan uji coba terlebih dahulu," ujar Bapak Fadli Zon di Candi Borobudur, Jawa Tengah, Kamis, 29 Mei 2025.

Beliau menambahkan, pemasangan *stairlift* sudah menjadi hal umum di berbagai cagar budaya dunia. Oleh karena itu, menurut Bapak Fadli Zon, tidak ada alasan untuk tidak memasang *stairlift* di Candi Borobudur.

Namun, rencana ini memicu beragam reaksi. Salah satunya datang dari seniman dan budayawan Yogyakarta, Bapak Jumaldi Alfi, yang secara tegas menolak rencana pemasangan permanen *stairlift* di Candi Borobudur.

"Saya jelas tidak setuju dan sangat menyayangkan rencana tersebut," ungkap beliau kepada MasterV, Sabtu, 31 Mei 2025.

Bapak Jumaldi menilai bahwa gagasan ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap budaya, atau dapat disebut sebagai ‘tunabudaya’. Menurutnya, hal ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap warisan yang sudah ada.

"Ini sama saja tidak menghargai kebudayaan bangsa sendiri," tegasnya.

Sebaliknya, Direktur Forum Buddhis Indonesia (FBI), Bapak Adian Radiatus, berpendapat bahwa pemasangan *stairlift* di Candi Borobudur merupakan wujud kemudahan dan keterbukaan bagi tempat ibadah umat Buddha tersebut, baik untuk aktivitas keagamaan, pariwisata, maupun penelitian.

"Tentunya, pemasangan ini telah melalui pertimbangan yang sangat matang, termasuk aspek konservasi candi itu sendiri. Pemerintah tentu tidak mungkin berniat merusak, apalagi menghancurkan, sebuah situs peninggalan yang sangat berharga," jelas Bapak Adian di Jakarta, Kamis, seperti dikutip dari Antara.

Berikut adalah rangkuman respons dari berbagai pihak terkait rencana pemasangan permanen *stairlift* di Candi Borobudur, yang dihimpun oleh Tim News Liputanku:

Menteri Kebudayaan, Bapak Fadli Zon, menyatakan bahwa *stairlift* di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, direncanakan akan dibangun secara permanen.

"Tidak ada masalah, kita akan teruskan rencana ini karena demi inklusivitas. Di semua cagar budaya dunia sudah dipasang, dan kita berharap ke depannya ini bisa permanen. Rencana ini sudah lama kita pikirkan dan akan kita coba wujudkan," jelas beliau.

Bapak Fadli Zon meyakinkan bahwa *stairlift* tidak akan merusak Candi Borobudur sebagai cagar budaya. Beliau menegaskan bahwa tidak ada baut yang digunakan dalam pemasangan *stairlift*.

"Ini *portable*, tidak merusak, tidak ada satu mur baut pun yang merusak batu," pungkas Bapak Fadli Zon.

Menanggapi hal ini, seniman dan budayawan asal Yogyakarta, Bapak Jumaldi Alfi, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut.

Bapak Jumaldi berpendapat bahwa wacana pemerintah ini tidak dapat dikompromikan atau dikaji ulang. Ia dengan tegas menyatakan bahwa wacana *stairlift* di Candi Borobudur tidak boleh direalisasikan.

Alasannya, Candi Borobudur adalah warisan adiluhung, yang dalam bahasa Jawa berarti mulia atau bernilai tinggi.

"Jelas jangan dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Selain warisan adiluhung, ini juga tempat ibadah. Apakah konsep Borobudur ini tidak dipahami oleh para pejabat?" tanya Bapak Alfi dengan heran.

Bapak Alfi menjelaskan bahwa setiap undakan di Candi Borobudur mengandung perwujudan ilmu kehidupan. Untuk mencapai Nirwana, seseorang harus melalui perjalanan panjang melalui tiga fase: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.

Kamadhatu, tingkatan paling bawah dalam kosmologi Buddha, menggambarkan dunia keinginan yang masih dikuasai oleh nafsu duniawi.

Rupadhatu, bagian tengah dalam kosmologi Buddha, melambangkan alam antara, di mana manusia telah membebaskan diri dari nafsu, namun masih terikat pada dunia nyata.

Terakhir, Arupadhatu, alam atas atau Nirwana, adalah tempat para Buddha bersemayam, di mana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan ikatan bentuk serta rupa.

"Itulah inti pelajaran dari Borobudur. *Step by step* dan jalan melingkar. Masak pakai *lift* (*stairlift*)? Di zaman modern, orang ingin mendapatkan pencerahan spiritual secara instan dan cepat," jelasnya.

Aktor sekaligus budayawan, Bapak Butet Kartaredjasa, juga menolak pemasangan permanen *stairlift* di Candi Borobudur.

Menurut tokoh asal Yogyakarta ini, penambahan fasilitas seperti *stairlift* di situs budaya seperti Candi Borobudur kurang tepat. Ada berbagai pertimbangan, seperti struktur bangunan candi yang dikhawatirkan rentan jika dipasangi alat-alat berat.

"Nanti bisa saja ada bagian yang rusak atau rubuh, meskipun katanya tidak pakai baut atau ditanam. Selain itu, candi ini termasuk situs warisan dunia UNESCO. Kita sudah mengajukan dan sudah diakui dunia. Kalau kita mengubahnya lagi, ini akan menjadi aneh dan bisa saja mendapat teguran dari UNESCO,” kata Bapak Butet kepada tim Lifestyle Liputanku, Jumat, 30 Mei 2025.

"Seharusnya pemerintah, terutama menteri kebudayaan, paham soal ini. Saya berharap *stairlift* ini tidak jadi permanen. Tinggal dibatalkan saja, dan semua kehebohan ini selesai," lanjutnya.

Bapak Butet menambahkan bahwa tujuan untuk memudahkan para lansia dan disabilitas juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menambahkan fasilitas baru. Pengunjung Borobudur sejak lama memang sudah dibatasi di area tertentu, dan hal itu harus tetap dijalankan.

"Ini juga tempat ibadah umat Buddha, dan selama ini pengunjung memang dibatasi di tempat-tempat tertentu karena ini tempat ibadah. Itu harus kita hormati," tuturnya.

"Setahu saya, Presiden Prancis ini tidak naik *stairlift* dan dia tetap bisa ke atas candi dan menyentuh stupa. Jadi, sudahlah, tidak perlu ada penambahan lagi," pungkasnya.

Di sisi lain, antropolog dari UGM yang juga seorang dosen antropologi dan budaya, Bapak Feby Triady, berpendapat bahwa pemasangan *stairlift* di Borobudur seharusnya tidak terjadi karena dapat merusak estetika dan nilai peribadatan dari candi tersebut.

"Namun, kalau diperuntukkan khusus untuk disabilitas dan lansia, sebenarnya sah-sah saja. Jadi, sebaiknya dikaji dan dipertimbangkan lagi apa yang terbaik," terangnya pada Lifestyle Liputanku, Jumat, 30 Mei 2025.

Presiden Prabowo Subianto, bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Ibu Brigitte Macron, menaiki puncak Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis, 29 Mei 2025. Presiden Macron tampak menikmati kunjungannya dengan melihat relief dan candi.

Tak hanya itu, Presiden Macron dan istrinya juga mencoba menggapai patung Buddha yang ada di dalam salah satu stupa di Candi Borobudur. Setelah memasukkan tangannya, Presiden Macron berhasil menggapai patung Buddha yang ada di dalam stupa.

Direktur Forum Buddhis Indonesia (FBI), Bapak Adian Radiatus, menilai bahwa pemasangan *stairlift* di Candi Borobudur di Jawa Tengah merupakan bentuk kemudahan dan keterbukaan tempat ibadah umat Buddha tersebut untuk aktivitas keagamaan, wisata, maupun penelitian.

"Tentunya, pemasangan ini sudah dipikirkan sangat matang, termasuk mengedepankan aspek konservasi candi itu sendiri. Pemerintah tentu tidak mungkin berniat merusak, apalagi menghancurkan, sebuah situs peninggalan yang sangat berharga," ujar Bapak Adian di Jakarta, seperti dikutip dari Antara.

Bapak Adian juga menegaskan bahwa pemasangan *stairlift* telah dilakukan secara hati-hati karena Borobudur merupakan bangunan bersejarah yang sudah diakui dunia. Selain itu, Menteri Kebudayaan, Bapak Fadli Zon, juga telah melibatkan berbagai ahli untuk memberikan pertimbangan sebelum pemasangan *stairlift*.

Sementara itu, penolakan datang dari Forum Aktivis Buddhis Dharmapala Nusantara. Dalam pernyataan sikap resminya di Jakarta, organisasi ini menekankan bahwa Candi Borobudur bukan tempat untuk uji coba teknologi yang berisiko merusak kesakralan dan keutuhan candi.

"Borobudur bukan laboratorium eksperimen. Ini adalah warisan dunia, tempat suci, dan monumen hidup yang harus dijaga dengan hormat," ujar Ketua Umum Dharmapala Nusantara, Bapak Kevin Wu, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 28 Mei 2025.

Mereka mempertanyakan urgensi intervensi fisik tersebut, meskipun diklaim bersifat non-permanen dan tidak merusak. Menurut Bapak Kevin, alasan aksesibilitas, bahkan untuk kunjungan kenegaraan, tidak sebanding dengan potensi risiko terhadap situs budaya yang memiliki nilai spiritual, moral, dan simbolis tinggi ini.

"Solusi aksesibilitas seharusnya tidak mengorbankan prinsip konservasi. Teknologi seperti *virtual reality* dan *augmented reality* bisa menjadi jawaban. Tanpa menyentuh batuannya, kita tetap bisa membuka pemahaman yang mendalam tentang Borobudur," jelas Bapak Kevin, didampingi Sekjen Eko Nugroho R dan Pengurus Dharmapala Nusantara lainnya.

Beliau menyebutkan bahwa organisasi Forum Aktivis Buddhis Dharmapala Nusantara ini juga mengkritik pendekatan yang cenderung teknokratis dan terburu-buru dalam penanganan situs budaya.

*Stairlift* di Candi Borobudur yang dipasang pemerintah saat kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang didampingi Presiden RI Prabowo Subianto, menuai pro dan kontra.

Benda tersebut, yang diklaim pemerintah sebagai cara untuk mewadahi masyarakat berkebutuhan khusus dan inklusivitas, mendapat penolakan dari para penjaga keaslian budaya.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi X DPR RI, Ibu Hetifah Sjaifudian, turut menyampaikan pendapatnya. Menurut beliau, pemasangan *stairlift* di Candi Borobudur haruslah memperhatikan keseimbangan antara nilai pelestarian dan prinsip inklusivitas.

"Komisi X mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan aksesibilitas bagi semua. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan keaslian dan integritas situs warisan dunia seperti Borobudur yang dilindungi oleh UNESCO," kata Ibu Hetifah melalui pesan singkat yang diterima pada Sabtu, 31 Mei 2025.

Politisi dari partai Golkar ini mendorong agar pemerintah transparan dalam proses perencanaan, melakukan konsultasi terbuka dengan ahli konservasi, arkeolog, serta UNESCO sebagai pemilik mandat pelestarian warisan dunia.

"Pemasangan *stairlift* di situs bersejarah seperti Borobudur pasti akan memunculkan kekhawatiran akan potensi kerusakan fisik dan gangguan estetika," wantinya.

Ibu Hetifah menegaskan bahwa Candi Borobudur bukan sekadar objek wisata, melainkan situs spiritual dan simbol peradaban. Setiap intervensi fisik, terutama yang bersifat permanen, harus memenuhi prinsip *reversibility* (dapat dilepas tanpa merusak), *minimal intervention*, dan tidak mengganggu panorama asli.

"Kami mendorong evaluasi mendalam terhadap kebijakan ini dan memastikan bahwa solusi yang diambil tetap mengedepankan prinsip pelestarian, bukan yang terburu-buru dan bisa berdampak jangka panjang," saran beliau.

Ibu Hetifah mencatat bahwa di negara-negara seperti Yunani dan Mesir, aksesibilitas bagi mereka yang berkebutuhan khusus di situs kuno umumnya difasilitasi melalui teknologi virtual, tur digital, atau zona interaktif di museum sebagai bentuk edukasi inklusif.

Beliau pun berharap agar Pemerintah Indonesia juga bisa mengedepankan pendekatan yang lebih inovatif dan konservatif, tanpa harus melakukan intervensi langsung ke struktur candi. Sebab, prinsip inklusivitas tidak harus diwujudkan dengan cara yang justru mengorbankan nilai universal dari warisan budaya dunia seperti Borobudur.

"Perlu dicari jalan tengah yang menjamin hak akses tanpa mengabaikan tanggung jawab pelestarian. Pemasangan *stairlift* perlu dikaji dengan melibatkan semua pihak berkepentingan dan mempertimbangkan praktik terbaik dari negara lain," beliau menandasi.