Stimulus Rp 24,4 T: Mampukah Pacu Ekonomi 5 Persen?

Admin

19/06/2025

4
Min Read

On This Post

Mampukah Stimulus Rp 24,4 T Mendorong Ekonomi Tumbuh 5 Persen?

JAKARTA, MasterV – Pemerintah kembali meluncurkan stimulus ekonomi sejumlah Rp 24,4 triliun yang dialokasikan untuk Kuartal II 2025. Namun, kini muncul pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan ini: mampukah ia benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5 persen?

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa kelima insentif yang ada tidak akan secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai target 5 persen tersebut.

“Efektivitasnya terhadap pertumbuhan ekonomi terbilang kecil, belum mampu mencapai angka 5 persen pada Kuartal II dan III,” ungkapnya kepada MasterV, sebagaimana dikutip pada Minggu (8/6/2025).

Menurut penjelasannya, suntikan insentif ini hanya memanfaatkan momentum liburan sekolah. Akibatnya, dampaknya cenderung bersifat sementara dan lebih menguntungkan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas.

YOUTUBE/GREENPEACE INDONESIA Tangkapan layar dari video yang menunjukkan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan pembahasan hasil studi bersama Greenpeace Indonesia, Kamis (24/4/2025).Sebagai contoh, diskon tiket pesawat dan tarif tol hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas yang memiliki dana untuk bepergian. Sementara itu, masyarakat kelas menengah ke bawah belum tentu memiliki cukup dana untuk hal tersebut.

Selain itu, insentif yang diberikan, seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU), tidak dapat menjangkau para pekerja informal yang mayoritas memiliki upah di bawah standar upah minimum.

Hal ini disebabkan oleh data penerima BSU yang diambil dari data peserta BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, banyak pekerja informal, seperti pengemudi ojek online dan kurir, tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, ia menyayangkan keputusan pemerintah untuk membatalkan penerapan diskon tarif listrik pada bulan Juni-Juli 2025.

“Diskon listrik seharusnya tetap diberlakukan sebagai pelengkap atau komplementer dari BSU. Mengapa demikian? Karena penerima diskon tarif listrik mencakup banyak pekerja informal dan UMKM,” jelasnya.

FREEPIK/PIKISUPERSTAR Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Syafruddin Karimi, seorang pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, berpendapat bahwa alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi, paket insentif ini lebih efektif dalam menahan laju penurunan konsumsi masyarakat.

Mengingat paket insentif serupa yang diluncurkan pemerintah pada Kuartal I 2025 ternyata tidak cukup efektif untuk mendorong konsumsi masyarakat.

Pada Kuartal I 2025, konsumsi rumah tangga tetap melambat pada angka 4,89 persen, dan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan menjadi 4,87 persen dari 5,11 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Menurutnya, hal ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum pulih secara fundamental. Akibatnya, stimulus yang diberikan secara berulang hanya berfungsi sebagai penyangga dalam jangka pendek.

Mengingat tekanan inflasi, ketidakpastian global, dan daya beli yang terkikis belum diatasi dari sisi struktural, seperti melalui penciptaan lapangan kerja atau penguatan UMKM.

“Efektivitas stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi patut dipertanyakan. Harapan bahwa paket ketiga ini dapat mendongkrak pertumbuhan hingga mencapai 5 persen terlihat terlalu optimistis tanpa adanya dasar yang kuat,” ujarnya kepada MasterV, dikutip pada Minggu (8/6/2025).

Syafruddin juga berpendapat bahwa pemberian stimulus ekonomi secara berulang dapat menambah tekanan pada kondisi fiskal.

Merujuk pada realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga bulan April 2025, pendapatan negara baru mencapai 27 persen dari target yang ditetapkan. Sementara itu, defisit anggaran mengalami pembengkakan yang signifikan, dari Rp 31,2 triliun pada bulan Februari menjadi Rp 104 triliun per bulan Maret.

Dengan ruang fiskal yang semakin terbatas, pengucuran insentif tambahan dikhawatirkan akan menambah beban tanpa memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Terlebih lagi, permasalahan dalam pelaksanaan stimulus juga menambah kekhawatiran. Diskon tarif listrik yang awalnya diumumkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akhirnya dibatalkan karena adanya perbedaan pandangan antar kementerian.

Seperti yang diketahui, setelah diumumkan oleh Kemenko Perekonomian, insentif diskon listrik ini dibantah oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa anggaran untuk program tersebut belum siap.

“Hal ini bukan hanya menunjukkan ketidaksiapan fiskal, tetapi juga lemahnya koordinasi antar lembaga negara. Pengumuman kebijakan yang terlalu terburu-buru tanpa adanya kejelasan teknis mengenai anggaran menciptakan citra ketidakpastian yang merugikan kredibilitas pemerintah dan mengganggu ekspektasi publik,” ucapnya.

Setelah pemberian diskon tarif listrik resmi dibatalkan, pemerintah mengalihkan dana tersebut ke BSU, dari semula sebesar Rp 300.000 untuk bulan Juni-Juli 2025 menjadi sebesar Rp 600.000.

Menurutnya, keputusan ini justru dapat mengurangi efektivitas stimulus terhadap konsumsi masyarakat, karena diskon tarif listrik memiliki jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan BSU.

“Jika BSU hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa mendorong aktivitas ekonomi yang produktif, maka *multiplier effect*-nya akan terbatas. Di sisi lain, pembatalan diskon listrik dapat dianggap sebagai tindakan yang mengurangi daya beli sebagian rumah tangga berpenghasilan tetap yang tidak termasuk dalam kategori penerima BSU,” tuturnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah menggelontorkan 5 paket insentif ekonomi pada bulan Juni-Juli 2025 senilai Rp 24,44 triliun dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai level 5 persen pada Kuartal II 2025.

Kelima insentif tersebut meliputi diskon transportasi umum, seperti diskon tarif pesawat dan tarif tol, bantuan sosial pangan, BSU, serta perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan.