Jakarta, 6 Juni 1901. Embun pagi menyapa. Di tengah kelembutan angin musim kemarau yang berbisik di antara dinding rumah tradisional Peneleh, Surabaya, hadir seorang bayi laki-laki. Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai adalah kedua orang tuanya. Kusno, demikian nama yang diberikan.
Kelahirannya bertepatan dengan munculnya bintang Kemukus di ufuk timur. Menurut kepercayaan Jawa kuno, bintang berekor yang bercahaya itu adalah isyarat akan datangnya perubahan besar bagi umat manusia.
Selang 17 hari, tepatnya 22 Juni, serangkaian letusan dahsyat mengguncang. Gunung Kelut meletus dengan kekuatan luar biasa. Awan panasnya meluas hingga Kabupaten Kediri. Gemuruhnya terdengar hingga Pekalongan, sementara hujan abu mencapai Bogor.
Tanda-tanda alam tersebut menguatkan keyakinan Nyoman Rai bahwa putranya memiliki takdirnya sendiri. Setelah kelahiran Kusno, keberuntungan seolah menyertai keluarga Sosrodihardjo. Ia diangkat menjadi mantri guru, meskipun penempatan tugasnya berpindah ke Ploso, Jombang.
Masa kecil Kusno diwarnai dengan perpindahan tempat tinggal. Ia sempat menetap di Tulungagung, Mojokerto, sebelum kembali ke Surabaya. Anak itu tumbuh sebagai sosok yang kurus, pendiam, dan rentan terhadap penyakit. Lantaran sakit yang terus-menerus, namanya pun diubah dari Kusno menjadi Soekarno.
Pergantian nama tersebut membawa harapan akan kesembuhan dan kekuatan bagi sang anak. Dalam kepercayaan Jawa, nama memiliki daya magis tersendiri. Prosesi pergantian nama Sukarno dipimpin oleh RM Soemosewoyo, ayah angkatnya.
RM Soemosewoyo merupakan kerabat dari Sosrodihardjo, ayahanda Sukarno. Beliau tidak memiliki keturunan dan memilih untuk membujang. RM Soemosewoyo bersedia mengobati Kusno dengan dua syarat utama: perubahan nama dan adopsi sebagai anak.
Sebelum menjadi orator ulung yang menggetarkan panggung-panggung perlawanan, Sukarno hanyalah seorang bocah yang duduk manis di bangku sekolah rakyat di Mojokerto. Pada usia sekitar enam tahun, ia memulai pendidikan dasarnya di Eerste Inlandsche School, sekolah pribumi di bawah sistem kolonial Belanda.
Namun sejak awal, Sukarno bukanlah murid biasa. Dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams, dikisahkan bagaimana Sukarno kecil telah menunjukkan dahaga ilmu yang luar biasa.
Disebutkan pula bahwa ayahnya secara khusus mendampingi putranya belajar bahasa Belanda sejak dini. Hal ini menjadi bekal penting untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah Eropa (ELS) dan HBS kelak. Pada masa itu, pendidikan menjadi senjata perlawanan yang paling ampuh.
Pada tahun 1916, di usia 15 tahun, Soekarno muda dikirim oleh ayahnya ke Surabaya untuk bersekolah di HBS (Hoogere Burger School), sekolah elite bagi anak-anak Belanda dan priyayi pribumi. Inilah babak krusial dalam perjalanan hidupnya.
Di Surabaya, Sukarno dipertemukan dengan tokoh yang akan mengubah jalan hidupnya, yaitu Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam yang disegani. Cokroaminoto dikenal sebagai orator ulung dan pemikir pergerakan yang tajam. Rumahnya di Jalan Peneleh Gang VII bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan juga kawah candradimuka bagi para calon pemimpin bangsa.
Sukarno tinggal di rumah itu, menyerap ide-ide besar langsung dari sumbernya. Di bawah bimbingan Cokroaminoto, ia tidak hanya mempelajari ilmu politik dan agama, tetapi juga menyaksikan secara langsung bagaimana sebuah gagasan dapat membangkitkan semangat massa, bagaimana kata-kata dapat menggerakkan rakyat.
Meskipun masih remaja, Sukarno sudah menunjukkan potensi yang luar biasa. Bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga gemar berdiskusi, berdebat, bahkan bersajak. Ia dikenal sebagai pemuda yang karismatik, penuh semangat, dan tak gentar menyuarakan pendapatnya.
Setelah menamatkan HBS di Surabaya, Sukarno melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB) pada tahun 1921. Ia memilih jurusan teknik sipil. Pada masa perkuliahan inilah, pemikirannya semakin matang.
Algemeene Studie Club yang didirikannya menjadi daya tarik bagi diskusi di kalangan pemuda. Sukarno berinteraksi dengan para intelektual, seniman, dan aktivis. Ia mulai menulis di berbagai media, berbicara di forum-forum pemuda, dan secara bertahap membangun fondasi pemikiran kebangsaannya. Dari sinilah, konsep nasionalisme Indonesia lahir.
Pada tahun 1929, pemerintah kolonial menangkap Sukarno atas aktivitas politiknya bersama Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia dipenjara di Sukamiskin, Bandung. Namun, alih-alih gentar, Sukarno justru menulis pidato legendaris “Indonesia Menggugat”, yang membakar semangat nasionalisme di ruang sidang pengadilan.
Setelah dibebaskan, pengaruhnya semakin meluas. Pemerintah kolonial pun mengambil langkah ekstrem dengan mengasingkannya.
Pada tahun 1934-1938, Ende menjadi tujuan pertama pengasingan. Di kota kecil di Flores itu, Sukarno hidup dalam keterbatasan. Namun, kesunyian justru memberinya ruang untuk merenung. Sejumlah tulisan lahir di sana. Bahkan, ia menulis naskah drama seperti Dokter Setan, menyelipkan ide-ide politik dalam kisah panggung.
Di taman kecil yang kini dikenal sebagai Taman Renungan Bung Karno, Sukarno merenungkan dasar negara. Di sinilah cikal bakal Pancasila lahir dalam benaknya.
Bengkulu menjadi salah satu tempat pengasingan Bung Karno setelah dipindahkan dari Ende, Nusa Tenggara Timur. Setelah lima tahun diasingkan di Ende, Belanda memindahkan Bung Karno ke Bengkulu karena khawatir wabah malaria mengancam nyawanya.
Desakan untuk memindahkan Bung Karno dari Ende disuarakan oleh para tokoh di Batavia, salah satunya Mohammad Husni Thamrin. Thamrin yang saat itu anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Hindia Belanda meminta pemerintah Belanda segera memindahkan Bung Karno dari Ende.
Setibanya di Bengkulu, Bung Karno menggambarkan kota tersebut sebagai kota yang masyarakatnya masih feodal, tetapi memiliki keindahan alam yang memukau.
“Masih sangat kolot, orang-orang perempuan menutup rapat-rapat tubuhnya. Mereka jarang menemani sang suami,” ungkap Bung Karno, seperti yang dikutip dari Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Oleh karena itu, ia banyak menyampaikan gagasan dan pemikiran baru di hadapan masyarakat. Sebagian masyarakat menerima, namun ada pula yang menolak.
Namun, sedikit yang mengetahui bahwa sebelum kembali ke Jawa, Sukarno juga sempat singgah dalam waktu singkat di Banda Neira, Maluku, sebuah tempat pengasingan terkenal sejak zaman Belanda.
Di Banda, Bung Karno sempat berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya seperti Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta yang telah lebih dulu diasingkan ke sana. Meskipun interaksinya singkat, pertemuan-pertemuan tersebut turut memperkaya perspektif perjuangan politiknya.
Ketika Jepang datang dan mengalahkan Belanda, Sukarno dimanfaatkan oleh pemerintahan militer Jepang sebagai alat propaganda. Namun, Sukarno melihat celah tersebut sebagai peluang untuk mempersiapkan kemerdekaan.
Pada tengah malam yang menegangkan, 16 Agustus 1945, para pemuda membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Mereka mendesak agar proklamasi segera diumumkan tanpa campur tangan Jepang.
Pada 17 Agustus 1945, di kediamannya di Pegangsaan Timur 56, Sukarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan bersama Mohammad Hatta dengan suara serak namun penuh keyakinan. Sukarno berdiri di panggung sejarah sebagai presiden pertama Republik Indonesia.
Tidak ada panggung megah, tidak ada pengeras suara, hanya bendera yang dijahit oleh Fatmawati dan sekelompok rakyat yang datang dengan hati penuh harap. Di sanalah sejarah diukir.
Namun, zaman terus bergulir. Kekuasaan pun beralih. Sukarno dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta Selatan, yang kini telah bertransformasi menjadi Museum Satria Mandala. Ia menjalani masa-masa terakhirnya dalam pengawasan ketat, terpisah dari rakyat yang dulu meneriakkan namanya.
Hari-hari Bung Karno dihabiskan dalam kesendirian di Wisma Yaso karena harus menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965. Di rumah tersebut, ia tidak memiliki teman untuk berbagi cerita. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu yang terbatas.
Kesehatan Sukarno mulai menurun sejak Agustus 1965. Bung Karno diketahui menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama. Bahkan, ia pernah menjalani perawatan di Wina, Austria pada tahun 1961 dan 1964.
Sukarno berjuang melawan penyakitnya selama 5 tahun sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta, dengan status sebagai tahanan politik.
Setelah empat hari menjalani perawatan di RSPAD, kondisi Bung Karno terus memburuk. Kesadarannya pun menurun pada Sabtu, 20 Juni 1970, pukul 20.30 WIB, dan mengalami koma keesokan harinya.
Meskipun Sukarno pernah berwasiat agar dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat peristirahatan terakhir Sukarno. Keputusan ini ditetapkan melalui Keppres RI Nomor 44 Tahun 1970.
Jenazah Sukarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya di samping makam ibundanya.