Polemik Tambang Nikel Raja Ampat: ESDM vs KLH?

Admin

20/06/2025

4
Min Read

On This Post

Sorotan tajam kini tertuju pada aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keindahan alam yang menjadi ciri khas wilayah ini terancam oleh dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan tersebut.

Dalam konteks ini, terdapat perbedaan signifikan antara temuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dengan penambangan nikel di Raja Ampat.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa tidak ada permasalahan berarti dalam kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat. Pernyataan ini disampaikan setelah kunjungan ke lokasi tambang nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, yang dilakukan bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada hari Sabtu (7/6).

"Setelah peninjauan dari atas, kami tidak menemukan adanya sedimentasi di area pesisir. Secara keseluruhan, tambang ini tidak memiliki masalah," ujar Tri dalam keterangan resminya, yang dikutip pada hari Minggu (8/6/2025).

Walaupun demikian, Kementerian ESDM telah mengirimkan tim Inspektur Tambang untuk melakukan inspeksi di beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Raja Ampat. Tujuan dari tim ini adalah untuk melakukan evaluasi komprehensif guna menentukan langkah-langkah selanjutnya terkait dengan penambangan nikel di wilayah tersebut.

"Secara keseluruhan, reklamasi di sini cukup baik, namun kami tetap menunggu laporan dari Inspektur Tambang. Hasil evaluasi dari laporan tersebut akan menjadi dasar bagi kami untuk menentukan tindakan selanjutnya," jelasnya.

Berbeda dengan temuan Kementerian ESDM, KLHK menyatakan adanya pelanggaran serius yang dilakukan oleh empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil pengawasan yang dilakukan pada tanggal 26-31 Mei 2025.

"Hasil pengawasan menunjukkan adanya berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil," tegas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangan resminya.

Perbedaan temuan ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan fokus penilaian. Kementerian ESDM mungkin lebih menitikberatkan pada aspek produksi dan kepatuhan terhadap izin pertambangan, sementara KLHK lebih fokus pada dampak lingkungan dan potensi pelanggaran peraturan lingkungan.

Perusahaan tambang nikel di Raja Ampat yang menjadi sasaran pengawasan KLHK meliputi PT Gag Nikel (GN), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Meskipun seluruhnya telah mengantongi izin usaha pertambangan, hanya PT GN, PT ASP, dan PT KSM yang memiliki persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH).

Berikut ini adalah berbagai permasalahan terkait tambang nikel di Raja Ampat yang ditemukan oleh KLHK:

1. PT Gag Nikel

PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas ±6.030,53 hektare (Ha). Pulau ini tergolong sebagai pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

KLHK saat ini tengah mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki oleh PT Gag Nikel. Apabila terbukti melanggar ketentuan hukum yang berlaku, izin lingkungan mereka akan dicabut berdasarkan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan.

"Penambangan di pulau kecil merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. KLHK tidak akan ragu untuk mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan," tandas Hanif.

2. PT Anugerah Surya Pratama

Demikian pula dengan PT Anugerah Surya Pratama, yang diketahui melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 Ha tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Di lokasi ini, KLHK memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.

Sebagai informasi tambahan, PT Anugerah Surya Pratama memiliki status penanaman modal asing (PMA) dan merupakan anak usaha dari PT Wanxiang Nickel Indonesia, yang terafiliasi dengan grup tambang asal China, Vansun Group.

3. PT Kawei Sejahtera Mining

PT Kawei Sejahtera Mining terbukti melakukan pembukaan tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 Ha di Pulau Kawe. Aktivitas ini telah menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai dan perusahaan akan dikenakan sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan serta berpotensi menghadapi gugatan perdata.

4. PT Mulia Raymond Perkasa

PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. Akibatnya, seluruh kegiatan eksplorasi dihentikan.