“Tiga dekade silam, melakukan terraforming Mars bukan sekadar hal yang rumit—melainkan sebuah kemustahilan. Namun kini, dengan teknologi mutakhir seperti Starship dari [SpaceX] dan perkembangan biologi sintetis, semua itu menjadi mungkin,” demikian ungkap Erika DeBenedictis, CEO Pioneer Labs sekaligus penulis utama studi yang dipublikasikan di Nature Astronomy pada 13 Mei 2025.
Urgensi Terraforming Mars: Mengapa Ini Perlu?
Alasan mendasar mengapa terraforming Mars menjadi penting adalah: “Sebuah planet yang hidup tentu jauh lebih berharga daripada planet yang mati,” tegas Edwin Kite, seorang profesor dari University of Chicago yang juga berkontribusi dalam studi tersebut.
Data yang diperoleh dari wahana penjelajah Mars, seperti Perseverance, membuktikan bahwa Mars dulunya memiliki potensi untuk dihuni. Oleh karena itu, proses “menghijaukan” planet ini dapat dianggap sebagai sebuah tantangan restorasi lingkungan yang paling ambisius dalam sejarah peradaban manusia.
Walaupun proses terraforming secara komprehensif diperkirakan akan memakan waktu berabad-abad, bahkan mungkin ribuan tahun, tahapan awal dapat dimulai dengan menciptakan zona mikro yang mampu mendukung kehidupan mikroba. Bayangkan, di masa depan, kota-kota manusia mungkin akan berdiri dengan megah di sana.
“Ketika kita mulai menjelajahi galaksi yang luas ini, kita membutuhkan semacam ‘base camp’—dan dalam skala galaksi, base camp terbaik adalah planet yang memang layak huni,” lanjut Kite, memberikan perspektif yang lebih luas.
Menurut Robin Wordsworth, seorang profesor ilmu lingkungan dan planet dari Harvard, terraforming bukan semata-mata tentang kolonisasi manusia. “Kehidupan adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Kita belum mengetahui apakah ada tempat lain di alam semesta ini yang memiliki kehidupan selain Bumi. Oleh karena itu, menyebarkan kehidupan adalah tanggung jawab kita sebagai bagian dari biosfer.”
Pelajaran dari Mars, untuk Kebaikan Bumi
Planet Mars juga berpotensi menjadi laboratorium alami yang berharga untuk mempelajari rekayasa lingkungan—sebuah pelajaran penting dalam upaya mengatasi krisis iklim yang sedang kita hadapi di Bumi.
“Jika kita ingin memahami bagaimana cara memodifikasi lingkungan agar tetap sesuai untuk menopang kehidupan, mungkin akan lebih bijaksana jika kita melakukan eksperimen di Mars terlebih dahulu, sebelum menerapkannya langsung di Bumi,” jelas Nina Lanza, seorang ilmuwan planet di Los Alamos National Laboratory.
Mars tidak memiliki industri minyak, infrastruktur yang sudah usang, maupun kepentingan ekonomi yang mengakar. Artinya, planet ini adalah lahan uji coba yang murni untuk mengembangkan teknologi hijau, yang nantinya dapat kita terapkan kembali di Bumi.
“Teknologi yang ramah lingkungan seringkali kesulitan untuk bersaing di Bumi karena harus berhadapan dengan teknologi lama yang sudah mapan. Namun, di Mars, kita memulai semuanya dari awal. Ini adalah sebuah kesempatan yang langka,” kata DeBenedictis.
AFP via VOA INDONESIA Wahana penjelajah planet Mars milik NASA, Perseverance, mengambil swafoto di atas sebuah batu bernama Rochette, tempat wahana tersebut menggunakan lengan robotiknya untuk mengebor sampel inti batu pada 10 September 2021.
Pertimbangan Etis: Layakkah Kita Melakukannya?
Namun, pertanyaan yang perlu diajukan bukan hanya sebatas “apakah kita mampu melakukannya?”, melainkan juga “apakah kita *seharusnya* melakukannya?”
“Jika kita memutuskan untuk mengubah Mars, maka kita benar-benar mengubahnya secara permanen. Kita berpotensi kehilangan kesempatan untuk memahami sejarah planet tersebut,” kata Lanza, mengingatkan akan konsekuensi yang mungkin terjadi.
Terraforming berisiko menghilangkan bukti penting tentang keberadaan kehidupan purba di Mars. Jika terdapat jejak mikroorganisme kuno di sana, perubahan lingkungan yang masif dapat menghapusnya tanpa jejak.
Proses Terraforming Mars: Bagaimana Caranya?
Meskipun teknologinya masih dalam tahap pengembangan, para ilmuwan telah merumuskan tiga fase utama dalam proses terraforming Mars:
1. Rekayasa Iklim Abiotik
Tahap awal ini bertujuan untuk menghangatkan permukaan Mars sekitar 30°C. Beberapa metode yang diusulkan meliputi penggunaan pelindung surya raksasa, penyebaran nanopartikel di atmosfer, atau penutupan permukaan dengan ubin aerogel untuk memerangkap panas.
Proses pemanasan ini akan melepaskan karbon dioksida yang terperangkap dan menebalkan atmosfer, yang pada akhirnya memungkinkan air dalam bentuk cair muncul di permukaan.
2. Introduksi Mikroba Ekstremofil
Langkah berikutnya adalah melepaskan mikroba anaerob hasil rekayasa genetika yang memiliki ketahanan terhadap kondisi ekstrem Mars. Mikroba ini akan mulai memproduksi oksigen dan bahan organik, yang akan menjadi fondasi bagi ekosistem di masa depan.
3. Membangun Biosfer yang Kompleks
Tahap terakhir, dan juga yang paling lama, adalah menciptakan lingkungan yang mampu menopang tumbuhan dan, suatu saat nanti, manusia. Tekanan atmosfer dan kadar oksigen ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai kondisi yang layak huni.
Langkah Berikutnya: Apa yang Perlu Dilakukan?
Menurut para peneliti, langkah pertama yang perlu diambil adalah terus meneliti Mars secara komprehensif. Misi Mars Sample Return dari NASA dan ESA, yang bertujuan untuk membawa sampel dari rover Perseverance kembali ke Bumi, merupakan salah satu langkah penting dalam upaya ini.
“Ini akan membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental: Apakah Mars pernah memiliki kehidupan? Terbuat dari materi apa planet itu?” kata Lanza, menjelaskan pentingnya misi tersebut.
Selain itu, misi eksplorasi Mars yang direncanakan pada tahun 2028 atau 2031 diharapkan mencakup eksperimen terraforming skala kecil, seperti pemanasan wilayah lokal sebagai uji coba awal.
Pada akhirnya, terraforming adalah sebuah misi lintas generasi. Namun, keputusan untuk memulainya harus diambil saat ini.
“Dari sebuah imajinasi dan konsep, kita dapat mewujudkan sesuatu yang mengubah dunia. Dan semua itu berawal dari sains,” pungkas Lanza, menutup diskusi dengan sebuah pernyataan yang inspiratif.