MasterV, Jakarta – Kendala kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih (Over Dimension dan Over Load/ODOL) masih menjadi permasalahan utama dalam sistem transportasi jalan raya di Indonesia. Kendaraan yang melampaui batasan dimensi maupun kapasitas muatan tidak hanya mempercepat degradasi infrastruktur jalan, tetapi juga memperbesar potensi terjadinya insiden lalu lintas.
Selain itu, praktik yang merugikan ini menimbulkan persaingan bisnis yang tidak sehat, dikarenakan sebagian pelaku industri memanfaatkan kendaraan ODOL untuk menekan pengeluaran operasional secara tidak wajar.
Pemerintah telah menjalankan berbagai ikhtiar penertiban kendaraan ODOL, mulai dari operasi gabungan, pembangunan jembatan timbang modern, hingga penindakan administratif serta pidana. Akan tetapi, efektivitas penegakan hukum di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti terbatasnya sumber daya pengawasan dan resistensi dari sebagian pelaku usaha angkutan.
Salah satu faktor yang mengakibatkan upaya ini belum maksimal adalah pendekatan yang cenderung bersifat represif, tanpa diimbangi dengan kebijakan insentif bagi pelaku usaha yang telah menaati regulasi.
Alhasil, kepatuhan tidak berkembang secara berkelanjutan, dikarenakan minimnya dorongan positif bagi pelaku usaha untuk senantiasa taat aturan.
Penindakan tegas terhadap kendaraan ODOL harus tetap menjadi fokus utama, untuk menegakkan wibawa aturan serta memberikan efek jera bagi pelanggar. Tidak boleh ada toleransi dalam hal keselamatan lalu lintas dan perlindungan terhadap infrastruktur jalan.
Walaupun demikian, kebijakan yang hanya mengedepankan sanksi berpotensi berat sebelah dan sulit diterima oleh pelaku industri, khususnya di sektor angkutan barang yang selama ini beroperasi dengan margin keuntungan yang relatif tipis.
Di sinilah signifikansi penerapan pendekatan yang adil: pemberian sanksi bagi pelanggar, dan pemberian insentif bagi mereka yang patuh terhadap regulasi. Banyak pengusaha angkutan telah berupaya keras menyesuaikan armada mereka, mulai dari mengganti karoseri, mengurangi muatan, hingga membeli unit baru yang sudah pasti membutuhkan biaya besar dan pengorbanan tidak sedikit.
Namun ironisnya, kepatuhan seperti ini belum sepenuhnya diapresiasi secara nyata dan layak; sejauh ini, apresiasi yang diberikan masih bersifat verbal dan belum disertai bentuk insentif konkret yang dapat meringankan beban atau mendukung keberlangsungan usaha mereka.
Insentif nyata dapat menjadi pendorong kepatuhan yang berkelanjutan. Bentuknya dapat berupa kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha yang mematuhi aturan.
Beberapa bentuk insentif yang patut dipertimbangkan antara lain, pertama, diskon tarif tol bagi kendaraan non-ODOL pada ruas-ruas tertentu. Kedua, subsidi atau potongan harga BBM bersubsidi untuk armada yang sesuai standar dimensi dan muatan. Ketiga, diskon biaya servis di bengkel resmi yang bekerja sama dengan pemerintah, untuk mendorong pemeliharaan kendaraan secara rutin dan berkala.
Keempat, kemudahan pembiayaan berbunga rendah, agar pengusaha dapat mengganti armada ODOL dengan kendaraan yang sesuai regulasi tanpa tekanan modal yang besar. Skema ini tidak hanya mengurangi hambatan modal, tetapi juga mendorong percepatan transformasi menuju sistem transportasi yang lebih aman dan tertib.
Insentif semacam ini akan mewujudkan keseimbangan. Kepatuhan tidak lagi terasa sebagai beban berat yang tidak sepadan, melainkan sebagai investasi yang masuk akal. Selama pelanggaran lebih menguntungkan secara ekonomi, kendaraan ODOL akan tetap menjadi pilihan pragmatis.
Kebijakan transportasi yang efektif tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum. Dibutuhkan ekosistem yang mendorong kesadaran kolektif untuk taat aturan melalui insentif yang logis dan terukur. Dalam konteks ODOL, pendekatan yang hanya represif justru dapat memperbesar resistensi—terutama jika pelanggaran dianggap lebih mudah dan lebih menguntungkan dibanding mematuhi regulasi.
Sebaliknya, ketika regulasi disertai insentif yang rasional, maka akan tumbuh budaya patuh secara organik. Kepatuhan semacam ini jauh lebih kokoh dan berkelanjutan, karena lahir dari kesadaran, bukan sekadar ketakutan terhadap sanksi.
Efektivitas penegakan aturan juga sangat ditentukan oleh legitimasi sosial. Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu melibatkan para pemangku kepentingan, mengedepankan transparansi proses, serta menyusun kebijakan yang solutif dan aplikatif. Regulasi yang ideal bukan hanya menjamin kepatuhan hukum, tetapi juga memperhatikan realitas operasional pelaku usaha angkutan barang di lapangan.
Agenda Indonesia bebas kendaraan ODOL bukan sekadar kewajiban regulatif, melainkan bagian dari transformasi sistem logistik nasional yang lebih aman, efisien, dan berdaya saing. Oleh karena itu, pendekatan yang adil dan proporsional sangat penting untuk menggerakkan seluruh pelaku industri menuju perubahan yang lebih baik.
Dengan kombinasi antara penegakan hukum yang konsisten dan insentif yang mendorong kepatuhan, Indonesia dapat melangkah lebih cepat menuju ekosistem transportasi jalan yang tertib, aman, dan berkeadilan.
Oleh: Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta