TikTok Nusantara (SG) Pte Ltd menampik tuduhan praktik monopoli yang dilayangkan oleh Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Seperti yang kita ketahui, isu monopoli ini mencuat pasca akuisisi Tokopedia oleh TikTok.
Farid Fauzi Nasution, selaku Kuasa Hukum TikTok Nusantara (SG) Pte Ltd, menjelaskan bahwa pihaknya menerima penilaian dari KPPU terkait perubahan transaksi yang terjadi antara TikTok Shop dan Tokopedia. Meski demikian, ia menegaskan bahwa praktik penjualan yang berlangsung di platform tersebut telah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Dugaan praktik tying dan bundling menjadi sorotan utama setelah Tokopedia diakuisisi dan bertransformasi menjadi TikTok Shop by Tokopedia. Strategi penjualan ini dianggap membatasi opsi metode pembayaran dan logistik, terutama karena promosi yang diberikan terikat pada rekomendasi platform.
Namun, Farid menegaskan bahwa TikTok Shop maupun Tokopedia selalu memberikan kebebasan kepada pengguna untuk memilih metode pembayaran dan logistik. Pilihan-pilihan ini tidak terikat dengan praktik tying dan bundling melalui promosi diskon atau bentuk sejenis lainnya.
"Kami memiliki komitmen untuk terus menjalankan praktik ini guna memastikan keselarasan dengan larangan praktik tying dan bundling yang dimaksud," ujar Farid dalam sidang perkara Penilaian Menyeluruh terkait Transaksi Pengambilalihan Saham PT Tokopedia oleh TikTok Nusantara (SG) Pte Ltd, yang berlangsung di kantor KPPU pada hari Selasa, 10 Juni 2025.
TikTok meyakinkan bahwa baik Tokopedia maupun TikTok Shop by Tokopedia telah menjalin kemitraan dengan berbagai penyedia jasa logistik dan pembayaran. Sebagian besar dari penyedia ini juga bekerja sama dengan platform e-commerce lainnya di Indonesia.
Selain itu, TikTok membantah telah melakukan pembatasan terhadap pemilik akun TikTok Shop dalam mempromosikan produk mereka di platform e-commerce lain. Farid menegaskan bahwa TikTok Shop dan Tokopedia sangat menjunjung tinggi kebebasan pengguna untuk berbagi konten, termasuk promosi produk di platform lain.
Namun, ia memberikan catatan penting bahwa konten promosi tersebut harus mematuhi pedoman, aturan, serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pihaknya mengklaim bahwa TikTok Shop dan Tokopedia telah mematuhi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Farid menjelaskan bahwa peraturan ini mewajibkan platform media sosial, termasuk TikTok, untuk menyelenggarakan dan mengelola konten yang dibagikan di platformnya secara andal, aman, dan bertanggung jawab.
"Kewajiban ini mencakup pencegahan terhadap penyebaran atau fasilitasi konten terlarang yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau mengganggu ketertiban umum dengan memperhatikan ketentuan tersebut," pungkasnya.
Sebelumnya, Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendeteksi adanya potensi praktik monopoli setelah TikTok mengakuisisi Tokopedia. Investigator juga mengusulkan beberapa persyaratan persetujuan yang akan diberlakukan pada kedua entitas tersebut.
Hal tersebut disampaikan oleh Investigator KPPU dalam Sidang Majelis Komisi Pemeriksaan Pendahuluan perdana atas Perkara Nomor 01/KPPU-M/2025 terkait Penilaian Menyeluruh terkait Transaksi Pengambilalihan Saham PT Tokopedia oleh Tik Tok Nusantara (SG) Pte Ltd, yang diadakan pada hari Selasa, 27 Mei 2025 di Kantor KPPU Jakarta.
Dalam proses penilaian atas notifikasi yang disampaikan, Investigator KPPU menemukan empat poin penting. Pertama, akuisisi ini menggabungkan dua pemain besar dalam satu pasar yang sama, yaitu e-commerce barang fisik (elektronik, fashion, kebutuhan harian, perabot rumah tangga, serta mainan dan hobi) di Indonesia.
Kedua, terjadi peningkatan signifikan dalam konsentrasi pasar berdasarkan perhitungan HHI (Herfindahl-Hirschman Index).
Ketiga, hasil penilaian menunjukkan kemungkinan kenaikan harga setelah akuisisi akibat efek unilateral, yaitu kecenderungan entitas gabungan untuk menaikkan harga karena dominasi pasar yang mereka miliki.
Keempat, walaupun tidak ditemukan potensi penutupan akses pasar (foreclosure) maupun hambatan masuk (entry barrier) yang signifikan bagi pelaku usaha baru, namun efek jaringan (network effect) terbilang besar dan berpotensi dimanfaatkan dalam strategi penjualan melalui praktik tying atau bundling (pengikatan layanan) yang dapat merugikan konsumen atau pelaku usaha lain, khususnya UMKM.