Kevin Hassett, Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, mengungkapkan keyakinan yang tinggi terkait tercapainya kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Optimisme ini muncul setelah pertemuan kedua belah pihak di London pada hari Senin (9/6).
Pernyataan Hassett sejalan dengan komentar Presiden AS Donald Trump pekan lalu, yang menyatakan bahwa ia telah melakukan percakapan yang sangat produktif dengan Presiden China, Xi Jinping, dan mencatat adanya kemajuan yang signifikan.
Hassett menekankan bahwa AS berkeinginan untuk memulihkan pasokan mineral langka, komoditas krusial yang digunakan dalam industri elektronik. Pemerintah AS berupaya mengembalikan volume mineral ini ke tingkat sebelum eskalasi perang dagang AS-China pada awal April.
"Ekspor mineral penting tersebut telah ditingkatkan ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya. Akan tetapi, volumenya belum mencapai target yang kami yakini telah disepakati di Jenewa," ungkap Hassett, seperti dikutip dari CNN, Senin (9/6/2025).
Howard Lutnick, Menteri Perdagangan AS, akan memimpin negosiasi di London. Ia akan didampingi oleh Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dan Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, yang sebelumnya memimpin perundingan perdagangan di Jenewa pada Mei 2025. Sayangnya, tensi antara kedua negara meningkat beberapa minggu kemudian, dipicu oleh unggahan Trump di Truth Social yang menuding China melanggar perjanjian dagang 90 hari.
Sesuai perjanjian, AS sementara waktu menurunkan tarif keseluruhan atas barang-barang China dari 145% menjadi 30%. Sebagai timbal balik, China memangkas pungutan atas impor AS dari 125% menjadi 10%. Perjanjian ini juga mencakup penangguhan atau pembatalan tindakan balasan nontarif yang diberlakukan China kepada AS sejak 2 April 2025. Tindakan balasan China tersebut mencakup pembatasan ekspor atas sejumlah mineral langka, komponen vital dalam produk-produk seperti iPhone, kendaraan listrik, dan jet tempur.
Pada tanggal 2 April 2025, Trump memberlakukan tarif timbal balik kepada sejumlah mitra dagang sebelum menangguhkan sementara tarif tersebut selama 90 hari dan menurunkannya ke tarif dasar 10%. Hassett menyatakan pada Minggu (8/6) bahwa pihaknya belum bersedia mengungkapkan tarif dasar yang akan diberlakukan di masa depan, seiring dengan berlanjutnya negosiasi pemerintahan Trump dengan mitra dagang menjelang batas waktu 9 Juli.
"Anda dapat meyakini bahwa akan ada beberapa tarif yang diberlakukan," tegas Hassett.
Sementara itu, Menteri Perdagangan AS, Lutnick, mengindikasikan bahwa pihaknya tidak akan mengenakan tarif di bawah 10% dan mengharapkan tarif dasar tersebut dipertahankan di masa mendatang. Sejauh ini, pemerintahan Trump baru mengumumkan satu kesepakatan perdagangan, yaitu dengan Inggris Raya.
Pemerintahan Trump terus menegaskan bahwa negara-negara lain, khususnya China, yang akan menanggung beban tarif. Akan tetapi, para pebisnis dan ekonom telah mengeluarkan peringatan sebaliknya, memicu ketidakpastian terhadap belanja konsumen dan kekhawatiran akan potensi resesi.
Di tengah kekhawatiran tersebut, inflasi AS melambat ke level terendah dalam lebih dari empat tahun pada bulan April. Tingkat inflasi tahunan turun dari 2,4% pada bulan Maret menjadi 2,3%, seiring dengan kenaikan harga konsumen sebesar 0,2%, berdasarkan data Indeks Harga Konsumen.
"Seluruh kebijakan kita secara bersama-sama mampu mengurangi inflasi dan membantu mengurangi defisit dengan mendapatkan pendapatan dari negara lain," jelas Hassett.
Departemen Keuangan melaporkan bahwa rekor US$ 16,3 miliar dikumpulkan dari bea cukai pada bulan April, melonjak tajam dari US$ 8,75 miliar pada bulan Maret. Sepanjang tahun 2025, AS telah mengantongi penerimaan bea cukai sebesar US$ 63,3 miliar, meningkat lebih dari US$ 15 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kantor Anggaran Kongres AS memperkirakan bahwa peningkatan pendapatan tarif, tanpa memperhitungkan dampaknya pada ekonomi AS, berpotensi mengurangi total defisit sebesar US$ 3 triliun selama dekade berikutnya.
Menurut laporan CBO pada Juni 2024, defisit pemerintah AS mencapai sekitar US$ 2 triliun pada tahun 2024, atau sekitar 7% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, menurut estimasi CBO terkini, RUU yang diajukan oleh Partai Republik di DPR untuk memberlakukan agenda kebijakan Trump akan menambah utang pemerintah sebesar US$ 3,8 triliun ke dalam total utang pemerintah yang telah mencapai US$ 36 triliun.