JAKARTA, MasterV – Kabar baik datang dari Amerika Serikat (AS)! Putusan pengadilan perdagangan yang memblokir sebagian besar tarif impor era Presiden Donald Trump memberikan peluang baru bagi negara-negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Syafruddin Karimi, seorang Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas, menyoroti bahwa putusan tersebut mengungkap penyalahgunaan kebijakan perdagangan oleh Trump untuk kepentingan pribadi dan politik. Tindakan ini, menurutnya, merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara dan mencoreng integritas diplomasi.
Lebih lanjut, Syafruddin mengungkapkan bahwa selain menerima jet mewah dari Qatar, Trump juga dilaporkan meminta pesawat pribadi kepada Presiden Afrika Selatan. Permintaan yang akhirnya ditolak karena ketidaksanggupan pihak Afrika Selatan.
Permintaan ini muncul di tengah desakan Trump agar Afrika Selatan segera menyetujui kesepakatan dagang demi menunjang citra kampanye politiknya.
“Apakah kebijakan tarif dan perjanjian perdagangan benar-benar ditujukan untuk melindungi ekonomi nasional, atau justru menjadi sekadar alat negosiasi untuk keuntungan pribadi dan pencitraan politik? Pertanyaan ini tentu menimbulkan kekhawatiran yang mendalam,” ungkapnya saat dihubungi Liputanku, Kamis (29/5/2025).
Ia menambahkan bahwa putusan pengadilan AS tersebut membuka cakrawala baru bagi dunia, baik dari sudut pandang hukum, politik, maupun ekonomi. Dengan tidak adanya lagi keleluasaan bagi Trump untuk menggunakan tarif sebagai instrumen diplomasi koersif, diharapkan eskalasi perdagangan global dapat mereda.
Khusus bagi Indonesia, momentum ini sangat berharga untuk memperkuat posisi dalam negosiasi, membenahi ekosistem perdagangan, serta mendorong terciptanya perdagangan yang lebih adil dan stabil.
Akan tetapi, untuk mengoptimalkan momentum ini, Indonesia perlu segera mempercepat reformasi regulasi perdagangan dan investasi. Penguatan daya saing industri ekspor serta pengembangan strategi diversifikasi pasar dan produk juga krusial agar tidak bergantung pada satu mitra dagang saja.
“Tanpa langkah-langkah korektif di dalam negeri, peluang stabilitas ini hanya akan menjadi angin lalu yang tak termanfaatkan,” tegasnya.
Bahkan, Syafruddin berpendapat bahwa momen ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengevaluasi ulang seluruh tawaran dan komitmen dagang dalam proses negosiasi tarif resiprokal dengan AS.
Pasalnya, putusan pengadilan dagang AS secara signifikan mengurangi tekanan yang sebelumnya diberikan AS dalam kebijakan tarif, yang membayangi Indonesia dalam penyusunan tawaran dan komitmen.
“Inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk menegosiasikan kembali posisi strategis Indonesia. Bukan lagi sebagai pasar yang pasif, melainkan sebagai mitra yang setara dan berani melindungi kepentingan nasional dalam perdagangan global yang adil dan berkeadilan. Kita tetap perlu waspada agar tidak mengalami nasib serupa dengan Afrika Selatan,” paparnya.
Sebagai informasi tambahan, berdasarkan laporan dari Kompas.id, Pengadilan Perdagangan Federal AS memblokir tarif tersebut dengan alasan bahwa Donald Trump telah melanggar Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA).
Undang-undang darurat ini, pada umumnya, digunakan untuk menjatuhkan sanksi kepada musuh AS atau membekukan aset mereka.
Trump menjadi presiden AS pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut untuk mengenakan tarif.
Namun, pengadilan berpendapat bahwa kebijakan Trump dalam menerapkan tarif resiprokal yang meluas itu menyalahi perundangan.
Panel yang terdiri dari tiga hakim di pengadilan perdagangan internasional berpendapat bahwa Trump telah melampaui batas kewenangannya, membuat kebijakan perdagangan AS bergantung pada keinginannya, dan menyebabkan kekacauan ekonomi.
Pengaturan perdagangan dengan negara lain tetap menjadi wewenang eksklusif Kongres AS dan tidak dapat dikesampingkan oleh kewenangan darurat presiden. “Penerapan tarif ke seluruh dunia dan tarif balasan melampaui wewenang yang diberikan kepada Presiden oleh IEEPA untuk mengatur impor melalui tarif,” jelas hakim.
Sementara itu, terdapat laporan bahwa pemerintahan Trump telah mengajukan pemberitahuan banding dari pejabat Gedung Putih.
Seorang juru bicara Gedung Putih menyampaikan kepada Reuters bahwa hakim tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan cara menangani keadaan darurat nasional.