Tsunami Kuno: Batu Raksasa 1.180 Ton dari Tebing Tonga

Admin

28/05/2025

4
Min Read

On This Post

Kira-kira 7.000 tahun silam, sebuah tsunami dahsyat menerjang pesisir selatan Tongatapu, mengangkat dan menyeret sebuah bongkahan batu raksasa sejauh 200 meter ke arah daratan.

Fenomena ini sungguh luar biasa. Para ilmuwan telah menemukan bebatuan besar lainnya yang tergeser akibat gelombang tsunami. Namun, yang membuat batu ini istimewa adalah posisinya semula di puncak tebing setinggi 30 meter, jauh di luar jangkauan tsunami dengan ukuran normal.

Di wilayah yang sering dilanda gempa bumi, pantai kerap kali dihiasi dengan bongkahan batu yang sebenarnya tidak terbentuk di sana. Dulu, dua abad silam, keberadaan bongkahan batu semacam itu mungkin dikaitkan dengan banjir Nuh. Namun, kini kita memahami bahwa bongkahan batu tersebut merupakan bukti kekuatan tsunami yang mampu memindahkan batu-batu besar ke tempat yang tak terduga.

Melalui studi mendalam terhadap bongkahan batu ini, para ahli geologi berharap dapat mengungkap informasi penting mengenai seberapa besar dan seberapa sering tsunami serupa terjadi. Data ini sangat krusial untuk perencanaan mitigasi bencana di masa depan.

Martin Köhler, seorang mahasiswa PhD di Queensland University, adalah bagian dari tim peneliti yang melakukan survei di tebing-tebing Tonga untuk mencari contoh serupa. Penemuan ini bermula ketika mereka mendapat informasi tentang sebuah batu di lokasi yang tidak lazim.

“Hari sudah menjelang sore, dan kami sedang berbincang dengan beberapa petani ketika mereka menunjuk ke arah batu besar itu,” ungkap Köhler dalam sebuah pernyataan, seperti yang dilansir Liputanku.

“Saya benar-benar terkejut. Batu itu terletak jauh di pedalaman, di luar area kerja lapangan kami, dan jelas telah dipindahkan oleh tsunami yang sangat besar. Sungguh sulit dipercaya melihat bongkahan batu raksasa ini tergeletak di sana, tertutup dan dikelilingi oleh vegetasi,” jelasnya lebih lanjut.

Tim peneliti membuat model batu besar tersebut untuk memperkirakan ukuran dan massanya. Hasilnya menunjukkan bahwa batu itu memiliki dimensi 14 x 12 x 6,7 meter, atau seukuran rumah dua lantai di negara maju.

Berdasarkan komposisinya, batu besar itu, yang oleh penduduk setempat dinamai Maka Lahi, diperkirakan memiliki berat mencapai 1.180 ton. Tornado mungkin mampu mengangkat sebuah rumah, tetapi akan sama sekali tidak berdaya menghadapi Maka Lahi. Untuk memindahkannya, alam membutuhkan media yang lebih padat, yaitu air.

Yang lebih mencengangkan lagi, ketika Köhler dan timnya menelusuri asal-usul batu besar tersebut, mereka menemukan bahwa batu itu berasal dari puncak tebing yang sangat tinggi sehingga tsunami biasa tidak akan mampu menjangkaunya, apalagi memiliki kekuatan yang cukup untuk menggeser benda seberat itu.

Pemodelan menunjukkan bahwa dibutuhkan gelombang setinggi 50 meter dengan durasi 90 detik untuk memindahkan Maka Lahi sejauh itu. Ukuran ini jauh melampaui tinggi gelombang tsunami terbesar yang pernah tercatat, dan jauh di atas perhitungan berdasarkan dampak selama zaman Holosen. Perlu diingat bahwa tinggi gelombang tsunami berbeda dengan tinggi awalnya, yang bisa jadi jauh lebih besar.

Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Annie Lau, salah satu penulis laporan tentang Maka Lahi, tsunami yang melanda Tonga pada tahun 2022 lalu telah merenggut enam nyawa dan menyebabkan kerusakan yang signifikan.

“Jumlah korban jiwa akan jauh lebih tinggi jika resor yang terkena dampak utama tidak ditutup akibat pandemi COVID-19. Mengetahui seberapa sering kejadian semacam itu dapat diperkirakan sangatlah penting,” tegasnya.

Kabar baiknya, tsunami yang memindahkan Maka Lahi terjadi setidaknya 6.891 tahun yang lalu. Köhler menjelaskan bahwa air hujan menyebabkan terbentuknya batu kapur sekunder di sisi-sisinya, dan para peneliti dapat menentukan umur lapisan-lapisan tersebut.

“Batu kapur tersebut tidak mungkin terbentuk di lokasi sebelumnya, baik karena semprotan garam yang lebih dekat ke laut menghambat pembentukannya maupun karena orientasi bongkahan batu tersebut menyebabkan batu kapur terbentuk dengan cara yang khas,” papar Köhler.

Maka Lahi dulunya merupakan bagian dari tebing. Retakan terbentuk pada batu tersebut, dan air hujan memperlebarnya hingga akhirnya terlepas sebelum tsunami menyeretnya ke daratan.

Köhler menambahkan bahwa tsunami tersebut datang dari arah selatan, kemungkinan disebabkan oleh runtuhnya lereng gunung berapi saat terjadi letusan. Namun, tim peneliti belum dapat mengidentifikasi sumber pastinya. Mereka berharap survei dasar laut dapat memberikan jawabannya.

Satu bongkahan batu yang sedikit lebih besar di Tongatapu, yaitu Maui Rock, juga telah diidentifikasi telah dipindahkan oleh tsunami. Akan tetapi, Köhler menjelaskan bahwa bongkahan batu ini terletak di sisi barat pulau, dan berasal dari tebing yang jauh lebih rendah sebelum dipindahkan ke jarak yang lebih pendek ke daratan.

Oleh karena itu, bongkahan batu ini dapat dipindahkan oleh tsunami yang tingginya sekitar seperempatnya. Namun, peristiwa itu terjadi sekitar 500 tahun yang lalu, yang mengindikasikan bahwa Tonga tidak hanya rentan dari segala sisi, tetapi juga tidak dapat mengandalkan jeda selama ribuan tahun antara peristiwa-peristiwa berbahaya.

Bongkahan batu yang lebih besar di Jepang, Obiishi, juga terletak jauh lebih dekat ke permukaan laut dan membutuhkan tsunami yang jauh lebih kecil untuk bergerak.

Orang Tonga menyebut batu-batu besar ini sebagai ‘batu lempar Maui’, berdasarkan mitos yang menyebutkan bahwa batu-batu itu dilempar oleh dewa Maui saat mengejar ayam.