Uang Haram Kominfo: “Uang Diam” Beking Judol Terungkap!

Admin

25/06/2025

5
Min Read

On This Post

JAKARTA, MasterV – Dalam persidangan yang berlangsung, terungkap bahwa terdakwa Denden Imadudin Soleh, yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), kini dikenal sebagai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), menerima sejumlah besar uang, mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap bulannya. Dana ini, yang disebut sebagai “uang diam”, diperoleh dari aktivitas melindungi situs-situs judi online (judol) agar tidak diblokir oleh pihak berwenang.

Fakta ini terungkap ketika Denden dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam sidang perkara yang melibatkan sejumlah pegawai Kominfo lainnya, yang juga didakwa terlibat dalam praktik perlindungan situs judol. Terdakwa lain dalam kasus ini antara lain Alwin Jabarti Kiemas, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Adhi Kismanto.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) memulai dengan pertanyaan mengenai jumlah dana yang diterima Denden setelah kembali terlibat dalam tim yang bertugas melindungi situs judol.

Denden, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Tim Penyidikan dan Ahli Undang-Undang ITE Kementerian Kominfo, mengakui bahwa ia menerima imbalan sebesar Rp 600.000 untuk setiap website yang berhasil diamankan setiap bulannya.

Sementara itu, Syamsul Arifin, yang saat itu memegang posisi sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Kementerian Kominfo, menerima dana sebesar Rp 300.000 untuk setiap website per bulan.

“Siapa yang menentukan pembagian tersebut?” tanya jaksa dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada hari Rabu, 11 Juni 2025.

“Pada saat itu, saudara Muhrijan yang menentukannya,” jawab Denden dengan lugas.

Perlu diketahui bahwa sebelumnya, Denden telah terlibat dalam praktik membekingi situs judol bersama timnya saat masih menjabat sebagai Ketua Tim Pengadilan Konten Internet Ilegal Kementerian Kominfo. Beberapa anggota tim yang terlibat antara lain terdakwa Fakhri Dzulfiqar, Yudha Rahman Setiadi, dan Yoga Priyanka Sihombing.

Daftar situs judol yang perlu dilindungi diperoleh dari terdakwa Alwin Jabarti Kiemas.

Namun, keterlibatannya sempat terhenti karena ia dipindahtugaskan sebagai Ketua Tim Penyidikan dan Ahli Undang-Undang ITE. Jabatan sebelumnya kemudian diisi oleh Syamsul Arifin.

Oleh karena itu, Denden sempat menghentikan partisipasinya dalam praktik ilegal tersebut. Namun, ia kembali terlibat setelah menerima tawaran dari Agus.

“Saya sedikit mundur saat saudara menjabat sebagai ketua tim. Tadi saudara menyebutkan adanya kesepakatan dengan Alwin, Rp 4 juta per website. Setelah September, Oktober, November, Desember (2023), apakah ada perubahan tarif?” tanya jaksa lebih lanjut.

“Tidak ada perubahan. Tetap sama,” jawab Denden dengan tegas.

Setelah pertemuan dengan Agus, Adhi, Syamsul, dan Alwin di sebuah kedai kopi di kawasan Bekasi, Denden mengakui bahwa ia tetap menerima aliran dana setiap bulannya, meskipun ia tidak lagi menjabat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Kementerian Kominfo.

Aliran dana tersebut terus mengalir hingga September 2024. Besaran dana yang diterima bervariasi, tergantung pada jumlah situs yang harus dilindungi.

“Tadi disebutkan sekitar Rp 1,3 miliar, kemudian sekitar Rp 800 juta hingga Rp 900 juta,” ungkap Denden dalam persidangan.

“Kemudian ada bulan, seingat saya, bulan Juli, penerimaan dilakukan setiap dua minggu sekali. Biasanya di bulan Juli, penerimaan dilakukan per dua minggu. Terakhir, di bulan Agustus, bahkan dilakukan setiap minggu sekali, sebelum akhirnya berhenti,” tambahnya.

Jaksa pun merasa heran mengapa Denden masih menerima aliran dana, meskipun ia tidak lagi memiliki peran signifikan karena sudah tidak menjabat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Kementerian Kominfo.

“Setelah beberapa kali menerima dana, apa alasan dari saudara Adhi, Alwin, Muhrijan masih memberikan alokasi kepada saudara?” tanya jaksa dengan nada menyelidik.

“Alasannya, karena saya dianggap mengetahui seluk-beluk praktik penjagaan itu, dianggap sebagai ‘uang diam’,” jawab Denden.

“Bagaimana dengan saudara Fakhri, Yudha, dan Yoga, apakah mereka masih mendapatkan alokasi?” tanya jaksa lagi.

“Sudah tidak,” jawab Denden singkat.

Menurut sepengetahuan Denden pada saat itu, pegawai Kementerian Kominfo lainnya yang menerima aliran dana haram dari praktik ini adalah Syamsul, Adhi, Riko Rasota Rahmada, dan Muhammad Abindra Putra.

Sebagai informasi tambahan, pada saat itu Riko menjabat sebagai Kepala Tim Take Down atau tim yang bertugas melakukan pemblokiran. Sementara itu, Abindra merupakan anggota Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal di bawah kepemimpinan Syamsul.

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, setidaknya terdapat empat klaster dalam perkara perlindungan situs judol yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Klaster pertama adalah koordinator, dengan terdakwa Adhi Kismanto, Zulkarnaen Apriliantony alias Tony, Muhrijan alias Agus, dan Alwin Jabarti Kiemas.

Klaster kedua terdiri dari para mantan pegawai Kementerian Kominfo, yaitu terdakwa Denden Imadudin Soleh, Fakhri Dzulfiqar, Riko Rasota Rahmada, Syamsul Arifin, Yudha Rahman Setiadi, Yoga Priyanka Sihombing, Reyga Radika, Muhammad Abindra Putra Tayip N, dan Radyka Prima Wicaksana.

Klaster ketiga melibatkan agen situs judol. Para terdakwa dalam klaster ini antara lain Muchlis, Deny Maryono, Harry Efendy, Helmi Fernando, Bernard alias Otoy, Budianto Salim, Bennihardi, Ferry alias William alias Acai.

Klaster keempat berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau para penampung hasil dari praktik melindungi situs judol. Para terdakwa yang baru terungkap adalah Darmawati dan Adriana Angela Brigita.

Dalam perkara dengan terdakwa dari klaster koordinator, mereka dijerat dengan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Serta juga Pasal 303 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.