109 Juta Pekerja: UMP Sekadar Angka? Fakta & Dampaknya

Admin

08/06/2025

3
Min Read

On This Post

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) baru-baru ini melaporkan peningkatan signifikan dalam jumlah pekerja yang menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Dalam risetnya, CELIOS mengungkapkan bahwa persentase ini melonjak tajam menjadi 84% pada tahun 2024, jika dibandingkan dengan 63% pada tahun 2021.

Apabila kita telaah lebih lanjut data dari CELIOS, yang mengolah data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap bahwa ada sekitar 109 juta pekerja di Indonesia yang menerima upah di bawah UMP per tahun 2024. Sementara itu, pada tahun 2021, terdapat sekitar 83 juta penduduk Indonesia yang mendapatkan gaji di bawah standar UMP.

"Kami menemukan fakta bahwa proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMP mengalami kenaikan yang cukup mencolok, dari 63% pada tahun 2021 menjadi 84% pada tahun 2024," ungkap peneliti CELIOS, Bara, dalam keterangannya yang dikutip oleh detikcom, pada hari Sabtu (31/5/2025).

Penyebab Utama Pekerja Bergaji di Bawah UMP

CELIOS juga menyoroti bahwa salah satu penyebab utama dari peningkatan angka pekerja bergaji di bawah UMP adalah lemahnya penegakan aturan yang berkaitan dengan upah minimum.

"Penyebab utama mengapa pekerja digaji di bawah UMP adalah karena lemahnya penegakan aturan mengenai upah minimum. Para pekerja yang menerima gaji di bawah upah minimum cenderung menerima keadaan yang sulit ini, karena terbatasnya lapangan kerja," jelas Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira kepada detikcom.

Bhima menegaskan, bahwa karena sempitnya lapangan pekerjaan, para pekerja yang digaji di bawah upah minimum cenderung enggan untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran hak-hak normatif pekerja.

"Akibatnya, para pekerja cenderung pasif dalam melaporkan adanya indikasi pelanggaran hak normatif mereka. Dalam situasi ini, daripada menganggur, lebih baik bekerja dengan upah yang rendah, dan ini menjadi tren yang seolah-olah dianggap wajar. Selain itu, maraknya praktik *union busting*, di mana pekerja dilarang untuk berserikat, juga melemahkan pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan," tambah Bhima.

Beliau menguraikan lebih lanjut bahwa faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pekerja bergaji di bawah UMP adalah besarnya jumlah pekerja di sektor informal, terutama setelah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri pengolahan.

"Setelah terjadi gelombang PHK dalam beberapa tahun terakhir, banyak pekerja yang beralih ke sektor informal, termasuk menjadi pengemudi ojek *online* dan kurir. Sebagian juga bekerja di usaha milik keluarga yang berskala UMKM. Jenis pekerjaan informal ini rentan terhadap masalah upah dan minimnya jaring pengaman sosial, seperti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan," imbuh Bhima.

Ternyata, tingginya angka pekerja yang bergaji di bawah UMP juga berdampak signifikan pada kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Semakin banyak orang yang bekerja, namun mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Keseimbangan antara gaji dengan biaya makan, sewa tempat tinggal, dan biaya pendidikan anak menjadi tidak seimbang. Akibatnya, banyak yang terjerat utang, seperti melalui pinjaman *online*. Bahkan, kondisi ini dapat berujung pada depresi hingga perceraian akibat masalah ekonomi. Sebagian lainnya yang masih bertahan, suami dan istri harus bekerja keras secara berlebihan. Keduanya harus bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan harian," pungkas Bhima.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Pasal 89 Ayat 1, upah minimum dapat ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

Selain itu, UU Ketenagakerjaan Pasal 90 Ayat 1 menyatakan dengan tegas bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. Lebih lanjut, UU Ketenagakerjaan Pasal 90 Ayat 2 menjelaskan bahwa bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dapat mengajukan penangguhan.