MasterV, Jakarta – Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menurut pengamatan, bukanlah sekadar lontaran politik biasa. Ini merupakan ancaman serius yang membayangi stabilitas demokrasi serta konstitusi negara. Hal ini ditegaskan oleh
"Narasi yang dikemas seolah-olah bertujuan untuk membela kepentingan rakyat, justru menyembunyikan agenda tersembunyi yang berpotensi menyesatkan arah reformasi," ungkap Pieter C Zulkifli, Pengamat Hukum dan Politik, dalam analisis politiknya yang disampaikan melalui keterangan tertulis, Kamis (5/6/2025).
Beliau menekankan, langkah pemakzulan ini sangat berbahaya jika tidak didasari oleh bukti hukum yang kuat. Pasalnya, hal ini berpotensi menjadi upaya makar yang terselubung.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini berpesan agar kritik terhadap pemerintah tetap diperlukan, namun bukan berarti ketidaksukaan dapat dibenarkan dengan dalih pemakzulan.
"Usulan untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka adalah salah satu gagasan paling berbahaya yang pernah muncul dalam lanskap demokrasi Indonesia pascareformasi," tegas Pieter.
"Tidak hanya gegabah dari sudut pandang hukum, namun juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap konstitusi serta stabilitas politik nasional," lanjutnya.
Menurut Pieter, dalam konteks ini, surat dari Forum Purnawirawan TNI yang secara terbuka mendesak MPR untuk memakzulkan Wapres Gibran, patut dicurigai maksud dan tujuan politiknya.
"Dalam alam demokrasi, ide memang tidak pernah dilarang. Akan tetapi, tidak semua ide layak untuk diperjuangkan," tuturnya.
"Ketika usulan pemakzulan diajukan tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa adanya skandal besar yang tak terbantahkan, serta tanpa pelanggaran berat terhadap konstitusi oleh Wapres, maka ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan ancaman potensial bagi sistem ketatanegaraan kita," imbuh Pieter.
Menurut Pieter, hal ini adalah bentuk kriminal terhadap Konstitusi. Demokrasi memang memberikan ruang untuk kritik dan koreksi.
"Namun, ketika narasi yang dibangun adalah untuk menentang kehendak rakyat yang telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum, diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi, dan ditegaskan oleh MPR, maka sebenarnya kita sedang menghadapi gerakan politik yang menolak tunduk pada hukum tertinggi negara. Kita patut mencurigai bahwa ini bukan lagi soal konstitusi, melainkan soal kekuasaan. Bukan demi negara, melainkan demi ambisi pribadi," jelasnya.
Pieter menyatakan bahwa dalam konteks ini, surat para purnawirawan TNI tersebut dapat menjadi bukti sikap anti demokrasi dan melawan konstitusi. Ia bahkan mengimbau agar para elite politik tidak perlu menanggapi surat tersebut.
"Tindakan seperti ini hanya akan memicu disharmoni politik, menggoyahkan kepercayaan publik, serta memecah konsentrasi pemerintah yang tengah bersiap untuk melanjutkan pembangunan. Dinamika politik harus tetap harmonis agar pembangunan dapat berjalan lancar. Jangan seperti anak kecil, tidak suka, lalu minta dimakzulkan, tidak cocok, ajukan pemakzulan. Kapan negara ini akan maju?," ujarnya.
"Apa jadinya jika setiap ketidaksukaan politik dibalas dengan narasi pemakzulan? Demokrasi kita akan berubah menjadi dagelan. Etika kenegaraan akan runtuh. Konstitusi hanya akan menjadi selembar kertas tanpa wibawa," sambung Pieter.
Ia menegaskan bahwa kekuasaan politik harus tunduk pada konstitusi, bukan sebaliknya. Hukum tidak boleh menjadi alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan. Pieter menyampaikan, apabila para elite bangsa ini masih menjadikan hukum sebagai alat politik, maka selama itu pula rakyat tidak akan pernah cerdas dan sejahtera.
"Sebab, mereka dibesarkan dalam budaya kebohongan yang dilanggengkan oleh elite yang tidak memiliki tanggung jawab sosial terhadap bangsanya sendiri," terangnya.
Pieter Zulkifli kemudian mengutip pernyataan Socrates yang pernah mengatakan 'Demokrasi tanpa pendidikan politik yang baik dan benar, maka suara rakyat menjadi dogma berbahaya'.
Ia mengatakan bahwa hal inilah yang sedang terjadi saat ini, di mana narasi politik berkembang tanpa nalar, didorong oleh emosi dan dendam kekuasaan, bukan oleh akal sehat dan kebajikan publik.
"Kecerdasan rakyat akan tumbuh bila elite memberikan teladan integritas. Sayangnya, sebagian elite politik kita saat ini menunjukkan bahwa mereka lebih haus kekuasaan daripada ingin membangun bangsa," kata Pieter.
"Mereka dengan lancang menggunakan pangkat dan gelar purnawirawan sebagai tameng moral, padahal substansi aksinya bertolak belakang dengan semangat kenegarawanan, mengacaukan stabilitas politik yang baru tumbuh," imbuhnya.
Pieter berpendapat bahwa narasi pemakzulan tanpa data hanyalah distraksi yang menguras energi bangsa, menunda agenda besar reformasi hukum, perbaikan ekonomi, hingga penanganan kemiskinan.
Oleh karena itu, ia berharap Presiden Prabowo Subianto harus jeli, harus dapat membedakan mana yang benar-benar baik dan mana yang hanya berpura-pura baik.
Ia juga mendorong agar Presiden Prabowo mengambil sikap tegas. Beliau tidak boleh membiarkan pemerintahan lima tahun ke depan dikacaukan oleh kepentingan politik yang menyamar dalam wajah patriotisme semu.
"Prabowo harus dikelilingi oleh orang-orang yang setia, cerdas, dan taktis. Lima tahun ke depan adalah momentum untuk membersihkan negara ini dari para penyamun yang bersembunyi di balik simbol kehormatan dan retorika palsu. Indonesia tidak kekurangan kritik," kata Pieter.
Ia menilai, hal langka saat ini adalah kritik yang jernih, berbasis fakta, dan berorientasi pada solusi. Pemakzulan tanpa fakta justru menciptakan trauma politik berkepanjangan.
"Pembangunan yang berjalan cepat, reforma agraria, hilirisasi nikel, semua terancam tersendat bila panggung nasional terus dipenuhi drama konstitusional," terang Pieter.
Ia mengatakan bahwa sudah saatnya dinamika politik dijalankan dengan harmoni. Ia mengamini bahwa oposisi kritis memang harus tetap hadir, tetapi harus loyal kepada konstitusi.
"Pemerintah harus responsif namun tidak alergi terhadap kritik. Koherensi semacam itu adalah prasyarat utama agar demokrasi melahirkan kemakmuran, bukan keributan," ucapnya.
Pieter mengingatkan bahwa di hadapan tantangan global, seperti perang dagang, krisis alam, disrupsi teknologi, Indonesia mustahil untuk melaju jika energinya disedot oleh polemik pemakzulan yang argumennya rapuh.
Oleh karena itu, ia mengajak publik untuk menjaga demokrasi dengan akal sehat, bukan dengan nafsu politik. Menurutnya, konstitusi harus dijaga sebagai rumah bersama, bukan sebagai alat mainan kekuasaan.
"Pemakzulan bukanlah alat untuk menyelesaikan ketidaksukaan. Jika ini terus dibiarkan, Indonesia bukan hanya akan kehilangan arah, tetapi juga kehilangan martabatnya sebagai negara hukum," kata Pieter Zulkifli.
"Kita menginginkan Indonesia yang maju, adil, dan bermartabat. Namun, itu hanya mungkin terjadi jika semua pihak, terutama elite politik dan militer, tunduk pada hukum dan menghormati kehendak rakyat," tegasnya.