Gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Kejaksaan sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), menyoroti perihal hak imunitas yang dimiliki jaksa. Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan sikapnya untuk menghormati setiap pandangan serta upaya hukum yang ditempuh oleh masyarakat.
"Kami tetap berpegang pada prinsip menghormati dan menghargai beragam perspektif, opini, bahkan pendirian yang berasal dari berbagai elemen masyarakat," ujar Harli kepada awak media di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, pada hari Kamis (5/6/2025).
Menanggapi substansi gugatan yang diajukan, terutama terkait hak imunitas jaksa yang dianggap menciptakan perlakuan khusus dibandingkan penegak hukum lainnya seperti hakim, polisi, dan advokat, Harli mempertanyakan aspek kewenangan yang dipermasalahkan oleh para pemohon.
"Menurut saya, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah mengenai kewenangan mana yang dianggap berlebihan," tegasnya.
Harli menjelaskan bahwa Korps Adhyaksa dibangun dengan fondasi kewenangan yang telah ada. Ia menambahkan bahwa tindakan yang diambil selama ini merupakan manifestasi dari upaya untuk memahami dan merespons kebutuhan masyarakat.
"Bukankah keberadaan kami adalah untuk senantiasa melindungi kepentingan masyarakat? Lalu, kewenangan spesifik mana yang dikategorikan sebagai kewenangan berlebih? Saya rasa, masyarakat dan Liputanku perlu bersikap kritis terhadap pandangan-pandangan semacam itu," urai Harli.
Kendati demikian, Harli tetap menghargai setiap langkah yang diambil oleh masyarakat. Keputusan akhir diserahkan sepenuhnya kepada hakim konstitusi.
"Namun, mengingat proses hukum sedang berjalan, kita akan melihat bagaimana Mahkamah Konstitusi akan memberikan penilaian terhadap perkara ini," tutup Harli.
UU Kejaksaan Digugat ke MK
Berdasarkan informasi dari situs www.mkri.id, gugatan terhadap Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) yang dihadapkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diajukan oleh dua advokat, yakni Harmoko dan Juanda.
Sebagai respons terhadap gugatan tersebut, sidang pendahuluan Perkara Nomor 67/PUU-XXIII/2025 telah dilaksanakan pada hari Jumat (16/5) lalu. Sidang ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah sebagai anggota.
Juanda, sebagai salah satu pemohon, berpendapat bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang berbunyi, "Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung", dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Dijelaskan bahwa keberadaan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan ini memberikan hak imunitas kepada jaksa. Implikasinya, apabila seorang jaksa melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, proses pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan hanya dapat dilakukan dengan izin Jaksa Agung.
Menurut pandangan para pemohon, hal ini menciptakan diskriminasi perlakuan dibandingkan dengan penegak hukum lainnya seperti hakim, polisi, dan advokat. Bahkan, norma ini dinilai tidak memberikan batasan mengenai kualifikasi serta jenis tindak pidana yang dilakukan oleh jaksa.
Juanda melanjutkan, bahwa meskipun advokat memiliki hak imunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Advokat dan dipertegas oleh Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013, namun jika seorang advokat menjalankan tugas profesinya tidak dengan itikad baik dan melanggar peraturan perundang-undangan, ia tetap dapat diperiksa dan ditahan tanpa memerlukan izin tertulis dari pimpinan organisasi advokat maupun pihak tertentu. Adanya perbedaan perlakuan antara jaksa dan penegak hukum lainnya, sementara Indonesia mengakui prinsip *equality before the law* dalam UUD 1945, maka ketentuan dalam Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi asas *equality before the law* sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
"Para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai "Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Presiden, Kecuali: a. Tertangkap Tangan melakukan tindak pidana b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan kemanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. Disangka melakukan tindak pidana khusus," ungkap Harmoko saat membacakan petitum permohonan.
Selanjutnya, para pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan".