UU TPKS Lemah? Desakan Pembenahan Penegakan Hukum!

Admin

25/06/2025

4
Min Read

On This Post

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menyampaikan keprihatinannya mengenai perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang dinilai belum maksimal, walaupun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan. Ia mendesak agar pembenahan segera dilakukan di berbagai lini agar implementasi UU ini benar-benar efektif dan memberikan dampak nyata.

Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi daring bertajuk Tantangan Penegakan Hukum UU TPKS yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar. Menurutnya, masih terdapat kelambatan dalam merespons perubahan sistem dan budaya hukum yang diharapkan.

"Walaupun UU TPKS sudah disahkan, respons terhadap perubahan sistem dan budaya hukum masih berjalan relatif lambat, sehingga upaya negara untuk memberikan perlindungan yang komprehensif kepada korban belum sepenuhnya terwujud," ujar Lestari dalam keterangannya pada hari Rabu (11/6/2025).

Ditambahkannya, salah satu kendala utama adalah masih minimnya pemahaman aparat penegak hukum terkait substansi UU TPKS, termasuk mengenai pentingnya pendekatan yang berorientasi pada kepentingan korban.

Lestari Moerdijat menegaskan bahwa implementasi UU ini memerlukan komitmen yang solid dari seluruh elemen, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan setiap individu. Selain itu, perlu juga adanya peningkatan kapasitas elemen-elemen tersebut, khususnya aparat penegak hukum, agar proses penanganan tindak kekerasan seksual lebih mengutamakan perspektif korban, menjunjung tinggi HAM, serta martabat manusia.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono, berpendapat bahwa aparat penegak hukum seringkali kurang melihat UU TPKS sebagai instrumen tindak pidana khusus, sehingga cenderung menerapkan pidana umum dalam kasus kekerasan seksual. Ia juga menyoroti kuatnya budaya *victim blaming* di masyarakat yang menjadi hambatan dalam penerapan UU TPKS.

Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa tantangan implementasi UU TPKS mencakup tiga aspek utama: substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Menurutnya, meskipun undang-undang sudah sangat detail, efektivitasnya akan terhambat jika struktur hukum belum siap. Akibatnya, hak-hak korban tidak terakomodasi dengan baik, misalnya tidak ada restitusi dan perlindungan yang lemah selama proses hukum.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Tuani Sondang Rejeki Marpaung. Ia mencatat bahwa meskipun laporan mengenai kekerasan seksual masih tinggi, hanya sebagian kecil yang berlanjut ke proses hukum.

Tuani mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, LBH Apik Jakarta menerima sebanyak 570 laporan tindak kekerasan seksual. Pada tahun 2023, tercatat 497 kasus, dan pada tahun 2024 tercatat 303 kasus.

Namun, pada tahun 2023, hanya 30 kasus yang mendapatkan pendampingan dari LBH APIK, dan dari jumlah tersebut hanya 5 kasus yang berhasil sampai ke pengadilan. Sisanya mengalami kendala di proses kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Ia menjelaskan bahwa aparat masih seringkali menggunakan UU ITE dan UU Pornografi sebagai pengganti UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual. Selain itu, kondisi pelaporan juga belum ideal, mulai dari ruang pemeriksaan yang kurang ramah bagi korban hingga tidak adanya ruang khusus untuk pendampingan.

Kuasa hukum korban kekerasan seksual di Universitas Pancasila, Amanda Manthovani, juga menyoroti buruknya penanganan kasus di lingkungan institusi pendidikan. Ia menyatakan bahwa keberadaan Satgas TPKS di kampus belum mampu mewujudkan keadilan karena adanya relasi kuasa yang membuat korban kesulitan memperoleh keadilan. Ia mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan dari UU TPKS agar proses hukum benar-benar berpihak pada korban dan menjunjung tinggi HAM.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menegaskan bahwa secara teknis, UU TPKS sudah sangat komprehensif, termasuk dalam mengatur hukum acara. Akan tetapi, implementasi UU TPKS di lapangan belum sepenuhnya dipahami oleh aparat penegak hukum.

Rudianto menegaskan bahwa UU TPKS mengandung semangat progresif, sehingga aparat penegak hukum juga harus memiliki pola pikir yang maju dan mengedepankan kepastian hukum. Ia menyampaikan bahwa visum dan keterangan korban sudah cukup menjadi bukti untuk memproses kasus ke pengadilan. Ia juga mendorong kepolisian serta kejaksaan untuk segera memedomani aturan-aturan yang terdapat dalam UU TPKS.

Wartawan senior Usman Kansong mengutip pandangan Mahatma Gandhi, bahwa keadilan yang sempurna mungkin sulit dicapai, namun usaha untuk mewujudkannya harus terus dilakukan.

"Jangan pernah lelah untuk mengawal penegakan hukum UU TPKS, dan dalam proses pengawalan tersebut, mari kita fokus pada solusi, tidak hanya terfokus pada permasalahan," imbuh Usman.