SD-SMP Swasta Gratis: Hitungan Anggaran Tak Bisa Terburu-buru

Admin

11/06/2025

3
Min Read

On This Post

MasterV, Jakarta – Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, menyampaikan bahwa kalkulasi alokasi anggaran untuk pelaksanaan pendidikan gratis di tingkat SD-SMP swasta memerlukan kehati-hatian dan tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa.

"Saat ini, kami sedang dalam proses penghitungan yang melibatkan banyak faktor. Proses ini membutuhkan waktu karena skala perhitungannya besar," ujar Atip di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Selasa, 3 Juni 2025.

Atip menekankan pentingnya akurasi dalam penghitungan tersebut agar program sekolah gratis dapat tepat sasaran. "Jika penghitungannya kurang akurat, alokasi anggaran juga akan terpengaruh. Oleh karena itu, kami berupaya menghitungnya dengan seksama," jelasnya.

Atip menambahkan bahwa pihaknya melakukan koordinasi lintas kementerian untuk mencapai hasil yang optimal.

"Koordinasi dilakukan dengan Bappenas, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Agama. Ini adalah langkah penting karena program ini harus direalisasikan," tegas Atip.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). MK memutuskan bahwa pendidikan dasar selama 9 tahun, baik di sekolah negeri maupun swasta, harus diselenggarakan secara gratis.

"Mengabulkan permohonan para pemohon sebagian," demikian pernyataan Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 di MK RI, Jakarta, pada hari Selasa, 27 Mei 2025, seperti dilansir dari Antara.

"Kewajiban belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya" yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menimbulkan berbagai interpretasi dan perlakuan diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa penerapan frasa "kewajiban belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" yang hanya berlaku untuk sekolah negeri dapat menciptakan kesenjangan dalam akses pendidikan dasar bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.

Lebih lanjut, dalam situasi tertentu, ada peserta didik yang terpaksa memilih sekolah swasta karena keterbatasan kapasitas di sekolah negeri.

Dalam kondisi seperti itu, menurut MK, negara tetap memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat memperoleh pendidikan dasar hanya karena alasan ekonomi dan keterbatasan fasilitas pendidikan dasar.

Pada dasarnya, konstitusi tidak memberikan batasan mengenai jenis pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai oleh negara. Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar agar warga negara dapat memenuhi kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar.

"Dalam konteks ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar yang diselenggarakan baik oleh pemerintah (negeri) maupun oleh masyarakat (swasta)," tambah Enny.

Menurut MK, jika frasa "kewajiban belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" hanya diterapkan untuk sekolah negeri, negara justru mengabaikan fakta bahwa keterbatasan daya tampung sekolah negeri memaksa banyak anak untuk bersekolah di sekolah swasta dengan biaya yang lebih tinggi.

Mahkamah berpendapat bahwa kondisi ini bertentangan dengan kewajiban negara dalam menjamin pendidikan dasar tanpa biaya bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, negara harus merealisasikan kebijakan pembiayaan pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta, melalui mekanisme bantuan pendidikan atau subsidi.

Di sisi lain, MK memahami bahwa tidak semua sekolah swasta di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan dasar dapat dikelompokkan dalam kategori yang sama. Beberapa sekolah swasta menawarkan kurikulum tambahan di samping kurikulum nasional, yang menjadi nilai tambah sekolah tersebut.

Sekolah-sekolah semacam ini memengaruhi motivasi peserta didik untuk mengikuti pendidikan dasar. Pilihan warga negara untuk bersekolah di sekolah swasta tersebut tidak selalu didasari oleh tidak tersedianya akses ke sekolah negeri.